Popular

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Dajjal Neoliberalisme

 


Mencari Kebebasan di belantara Neo-liberalisme

Sampai pada saat manusia berada pada masa dimana kebebasan memilih dan tersedianya beragam opsi pilihan terbuka begitu lebar, pencarian makna ‘kebebasan, dalam kisah sejarah hidup manusia tidak akan pernah berakhir. Karena memang, kisah tentang kebebasan adalah kisah menghidupi keluh kesah sejarah manusia.

Core idea semua gagasan tentang kebebasan merujuk pada gagasan tentang ada- tidaknya pembatasan pada seseorang, karena kebebasan menyangkut tindakan, dan kebebasan tindakan dibatasi oleh rintangan yang timbul dari tindakan orang lain. Ada-tidaknya pembatasan juga menentukan ada-tidaknya alternatif (pilihan) tindakan. Jadi, kebebasan juga menyangkut pilihan. Kebebasan tergantung bukan hanya dari ada-tidaknya pembatasan, tetapi juga dari tersedianya sarana untuk melakukan pilihan tindakan. Ini berarti tanpa adanya sarana, orang tidak bebas bertindak meskipun ia tidak dibatasi oleh siapapun. Dengan demikian, jika kebebasan bertindak dan kebebasan memilih yang dingagap penting dan bernilai, sementara apa(nya) yang bernilai dari kebebasan bertindak dan kebebasan memilih belum ditetapkan, maka kebebasan lalu menjadi seperti hamparan kosong dan rata, bagaikan rumah indah tanpa penghuni, karena semua jenis tindakan dan pilihan berposisi sama dan sejajar, maka kebebasanpun akhirnya terjerambab ke dalam sihir-metafisika. Keberadaannya tidak berbentuk, hampa dan mengawang-awang. Lalu? Agar kebebasan dapat menemukan ruang dan bentuknya serta terbebas dari sihir-metafisika, maka tidak bisa tidak ia harus menjelma ke dalam materialitas-gejala. Dari sinilah cerita tentang kebebasan ala neo-liberalisme memulai riwayatnya.

Perentangan Gagasan Neo-liberalisme

Pertama-tama, neo-liberalisme memahami dan mendaulat bahwa kodrat manusia yang paling hakiki adalah homo oeconomicus (manusia ekonomi). Karena, seperti kata Gary Becker, salah seorang dedengkot neo-liberalisme “ekonomi memberikan semesta pendekatan paling kompreherensif untuk memahami semua prilaku manusia…”. Ragam relasi manusia boleh saja disebut sebagai kultur, politik, sosial, legal, spiritual dan seterusnya. Namun, beragam relasi itu sesungguhnya dibimbing dan dipandu oleh prinsip transaksi laba-rugi yang berlaku dalam kinerja ekonomi pasar. Manusia boleh saja dinamai homo culturalis, homo politicus, homo legalis, homo spiritualis dan seterusnya, namun, di kedalaman sana ia pertama-tama adalah homo oeconomicus. Demikianlah, setelah homo oeconomicus dipatok sebagai teori kodrat dan prilaku manusia, maka keragaman prilaku dan dimensi manusia lalu dibentuk dengan normatif homo oeconomicus pula. Maka relasi-relasi dengan orang lain yang juga dilihat sebagai homo oeconomicus hanya mungkin dimengerti dengan idiom oeconomicus pula, dan idiom oeconomicus adalah “prinsip pasar”.

Dalam prinsip pasar, pengertian kebebasan selalu merujuk kepada kebebasan memilih menurut selera pribadi, atau dalam istilah ekonomi disebut preferensi. Elirgo ergo sum (saya memilih maka saya ada). Namun, kebebasan preferensi seperti ini masih absurd dan terjebak pada selubung metafisis dan neo-liberalisme tentu tidak akan pernah tahan dengan kegelapan metafisika. Maka untuk mewujudkannya ke dalam materialitas-gejala dipakailah siasat begini. Akses pada kebebasan preferensi bukanlah kebebasan preferensi itu sendiri, sebab hal itu berarti self-referential. Lalu apa? Jawabannya sederhana; daya beli. Daya beli lah perwujudan yang paling hakiki dari segala bentuk kebebasan. Demikianlah, sihir-metafisika itu kini benar-benar telah terjatuh ke dalam materialitas gejala. Mana mungkin punya kebebasan preferensi jika tidak mempunyai daya beli? Dan bagaimana bisa punya daya beli bila tidak punya pundit-pundi (uang)? Lalu? Apa jalan menuju pemilikan pundi-pundi?. Sampailah kita pada jantung gagasan proyek neo-liberalisme. Pemilikan uang hanya dapat terjadi bila kita mempekerjakan apa saja dalam diri kita sebagai modal yang secara abadi harus dikembang biakkan menjadi laba. Maka model manusia sejati dalam proyek neo-liberalisme adalah ‘sang pengusaha’ dan seluruh gugus relasi kehidupan manusia adalah perusahaan. Lalu? Berkembanglah sistem kultural baru berupa tata-kelola identitas diri dan relasi-relasi yang didasarkan pada kapitalisasi kehidupan. Inilah mengapa pilar utama proyek neo-liberal adalah kapitalisasi semua relasi dan itu pula yang menjelaskan ekspansi proses komersialisasi ke semakin banyak aspek kehidupan.

Jika setiap orang adalah pengusaha, maka apabila ia jatuh menganggur atau miskin, itu disebabkan kesalahannya sendiri. Kemiskinan dan pengangguran bukan masalah sosial, tetapi kegagalan mengubah aset diri menjadi laba dan solusinya tentu bukan social welfare tetapi individual self-care. Meskipun neo-liberalisme tidak identik dengan privatisasi, kita segera mengerti apa yang terjadi dibalik gelombang privatisasi bidang-bidang seperti pendidikan dan kesehatan. Tidak ada pelayanan kesehatan, tapi bisnis rumah sakit dan tidak ada pendidikan, tapi bisnis sekolah. Bukan pasien, tapi konsumen pengobatan dan bukan guru, tapi penjual pelajaran. Pada akhirnya tidak ada lagi perbedaan antara ekonomi pasar dan masyarakat pasar, karena seluruh gugus relasi yang membentuk masyarakat telah diubah menjadi relasi pasar. Sampai disini, hanya perlu beringsut sedikit untuk melihat implikasinya bagi tata-negara. Setelah homo oeconomicus menjadi model prilaku manusia dan logika pasar menjadi prinsip koordinasi masyarakat, pemerintah pun menjadi pemerintah ekonomi dan negara lalu disulap layaknya sebuah perusahaan. Para pejabat pemerintah adalah ‘pengusaha’ yang menjual kota, wilayah, sumber daya dan aset apa saja yang bisa ditawarkan kepada investor. Policy dikatakan sukses jika para pengusaha berdatangan melakukan investasi.  Dan pada akhirnya prinsip pasar tampil sebagai hakim yang mengadili apakah kebijakan disebut sukses atau gagal.

Kebebasan Yang Tidak Membebaskan

Ketika setiap manusia ditetapkan sebagai ‘pengusaha’ yang harus selalu merubah aset dirinya menjadi laba demi menguatkan daya belinya, maka hidup lalu menjadi layaknya sebuah arena pacuan dan karenanya terberkatilah ‘si cepat’. Dan pada saat yang sama, sebagaimana dalam setiap pacuan, ‘si lambat’ senantiasa terseok-seok diurutan belakang. Si cepat dapat dipahami sebagai nama lain bagi si terampil, si cekatan, si kaya dan seterusnya. Sebaliknya, si lambat dapat dipahami sebagai sebutan bagi si tua, si cacat, si buruk rupa, si gagap, si tidak terampil, si miskin dan sterusnya. Dalam proyek neo-liberal, ketertinggalan itu bukan karena kesalahan pacuan, melainkan karena kesalahan si lambat sendiri yang gagal merenovasi diri menjadi si cepat. Soalnya bukan pada ketuaan atau kemiskinan itu sendiri, ketuaan dan kemiskinan telah mengutuknya ke dalam daya beli rendah yang abadi. Ia harus minggir dari transaksi atau merenovasi diri, sebab dalam transaksi pasar hanya berlaku “the highest bidder, the winner”. Siapa yang memiliki daya beli tinggi, ialah pemenangnya dan semakin tinggi daya beli, semakin tinggi pula nilainya. Hal ini sejalan dengan prinsip neo-liberalisme dalam menetapkan bagaimana suatu kebebasan tindakan atau pilihan lebih penting dibandingkan kebebasan tindakan atau pilihan lain, dimana suatu tindakan disebut lebih bernilai dibandingkan tidakan lain apabila tindakan itu menghasilkan laba lebih besar dalam idiom ekonomi. Dengan kata lain, jenis kebebasan tindakan yang lebih bernilai dibanding kebebasan-kebebasan lain adalah jenis kebebasan tindakan yang menghasilkan daya beli lebih tinggi. Dari sini, lalu muncul normatif begini : pelaku yang mempunyai daya beli lebih tinggi ditetapkan lebih bernilai dibanding pelaku yang berdaya beli rendah. Itulah mengapa, walaupun jargon setiap orang adalah “pengusaha swasta”, proyek neo-liberal memberikan perlakuan amat istimewa kepada perusahaan-perusahaan raksasa dan bukan usaha mikro atau kecil.

Demikianlah, memang, tidak ada liberalisme yang tidak mengusung kebebasan. Tetapi dalam proyek neo-liberal, kesamaan yang diusung kebebasan itu terperangkap dalam persyaratannya sendiri, yakni daya beli. Ia mencanangkan kesamaan, tetapi segera membatalkannya dengan ketidak samaan daya beli. ‘Kesamaan’ dalam metafisika kebebasan telah menjelma ke dalam sejarah gejala, namun cara ia menjelma ditetapkan menurut ketidaksamaan. Dus, soalnya bukan kebebasan, tetapi aksesnya yang secara mutlak tergantung pada daya beli. Soalnya bukan pula terletak pada kinerja daya beli dan uang dalam ekonomi, tetapi pada seleksi penikmatan kebebasan yang didasarkan pada tiket daya beli. Begitu pula masalahnya bukan laba atau pasar, melainkan karena proyek totalisasi dan aplikasi prinsip pasar pada seluruh aspek kehidupan yang telah membawa konsekuensi bahwa akses pada kebebasan ditentukan oleh daya beli.         

Penulis : A. Syatori

Posting Komentar

2 Komentar