Mencari Kebebasan di belantara Neo-liberalisme
Sampai pada saat
manusia berada pada masa dimana kebebasan memilih dan tersedianya beragam opsi
pilihan terbuka begitu lebar, pencarian makna ‘kebebasan, dalam kisah sejarah
hidup manusia tidak akan pernah berakhir. Karena memang, kisah tentang
kebebasan adalah kisah menghidupi keluh kesah sejarah manusia.
Core idea semua
gagasan tentang kebebasan merujuk pada gagasan tentang ada- tidaknya pembatasan
pada seseorang, karena kebebasan menyangkut tindakan, dan kebebasan tindakan
dibatasi oleh rintangan yang timbul dari tindakan orang lain. Ada-tidaknya
pembatasan juga menentukan ada-tidaknya alternatif (pilihan) tindakan. Jadi,
kebebasan juga menyangkut pilihan. Kebebasan tergantung bukan hanya dari
ada-tidaknya pembatasan, tetapi juga dari tersedianya sarana untuk melakukan
pilihan tindakan. Ini berarti tanpa adanya sarana, orang tidak bebas bertindak
meskipun ia tidak dibatasi oleh siapapun. Dengan demikian, jika kebebasan
bertindak dan kebebasan memilih yang dingagap penting dan bernilai, sementara
apa(nya) yang bernilai dari kebebasan bertindak dan kebebasan memilih belum
ditetapkan, maka kebebasan lalu menjadi seperti hamparan kosong dan rata,
bagaikan rumah indah tanpa penghuni, karena semua jenis tindakan dan pilihan
berposisi sama dan sejajar, maka kebebasanpun akhirnya terjerambab ke dalam
sihir-metafisika. Keberadaannya tidak berbentuk, hampa dan mengawang-awang.
Lalu? Agar kebebasan dapat menemukan ruang dan bentuknya serta terbebas dari
sihir-metafisika, maka tidak bisa tidak ia harus menjelma ke dalam
materialitas-gejala. Dari sinilah cerita tentang kebebasan ala neo-liberalisme
memulai riwayatnya.
Perentangan Gagasan Neo-liberalisme
Pertama-tama,
neo-liberalisme memahami dan mendaulat bahwa kodrat manusia yang paling hakiki
adalah homo oeconomicus (manusia ekonomi). Karena, seperti kata Gary Becker,
salah seorang dedengkot neo-liberalisme “ekonomi memberikan semesta pendekatan
paling kompreherensif untuk memahami semua prilaku manusia…”. Ragam relasi
manusia boleh saja disebut sebagai kultur, politik, sosial, legal, spiritual
dan seterusnya. Namun, beragam relasi itu sesungguhnya dibimbing dan dipandu
oleh prinsip transaksi laba-rugi yang berlaku dalam kinerja ekonomi pasar. Manusia
boleh saja dinamai homo culturalis, homo politicus, homo legalis, homo
spiritualis dan seterusnya, namun, di kedalaman sana ia pertama-tama adalah
homo oeconomicus. Demikianlah, setelah homo oeconomicus dipatok sebagai teori
kodrat dan prilaku manusia, maka keragaman prilaku dan dimensi manusia lalu
dibentuk dengan normatif homo oeconomicus pula. Maka relasi-relasi dengan orang
lain yang juga dilihat sebagai homo oeconomicus hanya mungkin dimengerti dengan
idiom oeconomicus pula, dan idiom oeconomicus adalah “prinsip pasar”.
Dalam prinsip
pasar, pengertian kebebasan selalu merujuk kepada kebebasan memilih menurut
selera pribadi, atau dalam istilah ekonomi disebut preferensi. Elirgo ergo sum
(saya memilih maka saya ada). Namun, kebebasan preferensi seperti ini masih
absurd dan terjebak pada selubung metafisis dan neo-liberalisme tentu tidak
akan pernah tahan dengan kegelapan metafisika. Maka untuk mewujudkannya ke
dalam materialitas-gejala dipakailah siasat begini. Akses pada kebebasan
preferensi bukanlah kebebasan preferensi itu sendiri, sebab hal itu berarti
self-referential. Lalu apa? Jawabannya sederhana; daya beli. Daya beli lah
perwujudan yang paling hakiki dari segala bentuk kebebasan. Demikianlah,
sihir-metafisika itu kini benar-benar telah terjatuh ke dalam materialitas
gejala. Mana mungkin punya kebebasan preferensi jika tidak mempunyai daya beli?
Dan bagaimana bisa punya daya beli bila tidak punya pundit-pundi (uang)? Lalu?
Apa jalan menuju pemilikan pundi-pundi?. Sampailah kita pada jantung gagasan
proyek neo-liberalisme. Pemilikan uang hanya dapat terjadi bila kita
mempekerjakan apa saja dalam diri kita sebagai modal yang secara abadi harus
dikembang biakkan menjadi laba. Maka model manusia sejati dalam proyek
neo-liberalisme adalah ‘sang pengusaha’ dan seluruh gugus relasi kehidupan
manusia adalah perusahaan. Lalu? Berkembanglah sistem kultural baru berupa
tata-kelola identitas diri dan relasi-relasi yang didasarkan pada kapitalisasi
kehidupan. Inilah mengapa pilar utama proyek neo-liberal adalah kapitalisasi
semua relasi dan itu pula yang menjelaskan ekspansi proses komersialisasi ke
semakin banyak aspek kehidupan.
Jika setiap
orang adalah pengusaha, maka apabila ia jatuh menganggur atau miskin, itu
disebabkan kesalahannya sendiri. Kemiskinan dan pengangguran bukan masalah
sosial, tetapi kegagalan mengubah aset diri menjadi laba dan solusinya tentu
bukan social welfare tetapi individual self-care. Meskipun neo-liberalisme
tidak identik dengan privatisasi, kita segera mengerti apa yang terjadi dibalik
gelombang privatisasi bidang-bidang seperti pendidikan dan kesehatan. Tidak ada
pelayanan kesehatan, tapi bisnis rumah sakit dan tidak ada pendidikan, tapi
bisnis sekolah. Bukan pasien, tapi konsumen pengobatan dan bukan guru, tapi
penjual pelajaran. Pada akhirnya tidak ada lagi perbedaan antara ekonomi pasar
dan masyarakat pasar, karena seluruh gugus relasi yang membentuk masyarakat
telah diubah menjadi relasi pasar. Sampai disini, hanya perlu beringsut sedikit
untuk melihat implikasinya bagi tata-negara. Setelah homo oeconomicus menjadi
model prilaku manusia dan logika pasar menjadi prinsip koordinasi masyarakat,
pemerintah pun menjadi pemerintah ekonomi dan negara lalu disulap layaknya
sebuah perusahaan. Para pejabat pemerintah adalah ‘pengusaha’ yang menjual
kota, wilayah, sumber daya dan aset apa saja yang bisa ditawarkan kepada
investor. Policy dikatakan sukses jika para pengusaha berdatangan melakukan
investasi. Dan pada akhirnya prinsip
pasar tampil sebagai hakim yang mengadili apakah kebijakan disebut sukses atau
gagal.
Kebebasan Yang
Tidak Membebaskan
Ketika setiap
manusia ditetapkan sebagai ‘pengusaha’ yang harus selalu merubah aset dirinya
menjadi laba demi menguatkan daya belinya, maka hidup lalu menjadi layaknya
sebuah arena pacuan dan karenanya terberkatilah ‘si cepat’. Dan pada saat yang
sama, sebagaimana dalam setiap pacuan, ‘si lambat’ senantiasa terseok-seok
diurutan belakang. Si cepat dapat dipahami sebagai nama lain bagi si terampil,
si cekatan, si kaya dan seterusnya. Sebaliknya, si lambat dapat dipahami
sebagai sebutan bagi si tua, si cacat, si buruk rupa, si gagap, si tidak
terampil, si miskin dan sterusnya. Dalam proyek neo-liberal, ketertinggalan itu
bukan karena kesalahan pacuan, melainkan karena kesalahan si lambat sendiri yang
gagal merenovasi diri menjadi si cepat. Soalnya bukan pada ketuaan atau
kemiskinan itu sendiri, ketuaan dan kemiskinan telah mengutuknya ke dalam daya
beli rendah yang abadi. Ia harus minggir dari transaksi atau merenovasi diri,
sebab dalam transaksi pasar hanya berlaku “the highest bidder, the winner”.
Siapa yang memiliki daya beli tinggi, ialah pemenangnya dan semakin tinggi daya
beli, semakin tinggi pula nilainya. Hal ini sejalan dengan prinsip
neo-liberalisme dalam menetapkan bagaimana suatu kebebasan tindakan atau
pilihan lebih penting dibandingkan kebebasan tindakan atau pilihan lain, dimana
suatu tindakan disebut lebih bernilai dibandingkan tidakan lain apabila
tindakan itu menghasilkan laba lebih besar dalam idiom ekonomi. Dengan kata
lain, jenis kebebasan tindakan yang lebih bernilai dibanding
kebebasan-kebebasan lain adalah jenis kebebasan tindakan yang menghasilkan daya
beli lebih tinggi. Dari sini, lalu muncul normatif begini : pelaku yang
mempunyai daya beli lebih tinggi ditetapkan lebih bernilai dibanding pelaku
yang berdaya beli rendah. Itulah mengapa, walaupun jargon setiap orang adalah
“pengusaha swasta”, proyek neo-liberal memberikan perlakuan amat istimewa
kepada perusahaan-perusahaan raksasa dan bukan usaha mikro atau kecil.
Demikianlah, memang,
tidak ada liberalisme yang tidak mengusung kebebasan. Tetapi dalam proyek
neo-liberal, kesamaan yang diusung kebebasan itu terperangkap dalam
persyaratannya sendiri, yakni daya beli. Ia mencanangkan kesamaan, tetapi
segera membatalkannya dengan ketidak samaan daya beli. ‘Kesamaan’ dalam
metafisika kebebasan telah menjelma ke dalam sejarah gejala, namun cara ia
menjelma ditetapkan menurut ketidaksamaan. Dus, soalnya bukan kebebasan, tetapi
aksesnya yang secara mutlak tergantung pada daya beli. Soalnya bukan pula
terletak pada kinerja daya beli dan uang dalam ekonomi, tetapi pada seleksi
penikmatan kebebasan yang didasarkan pada tiket daya beli. Begitu pula
masalahnya bukan laba atau pasar, melainkan karena proyek totalisasi dan
aplikasi prinsip pasar pada seluruh aspek kehidupan yang telah membawa
konsekuensi bahwa akses pada kebebasan ditentukan oleh daya beli.
Penulis : A.
Syatori
2 Komentar
Syukak
BalasHapusKeren, lanjutkann
BalasHapus