Dalam sebuah diskusi dalam rangka menyongsong Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-34 yang diadakan 3 lembaga luar biasa yaitu Nalar TV, Pondok Pesantren Misykat al-Anwar, dan Desantara Foundation melalui platform Youtubenya, dengan tema “Krisis Iklim dari Perspektif Agama dan Ekologi Politik”, bersama tokoh-tokoh yang bergerak di isu ekologi seperti, Gus Roy Murtadho dari Misykat al-Anwar, Gus Syatori dari SALAM Institute, David Effendi dari Kader Hijau Muhammadiyyah, Penrad Siagian dari Paritas Institute, dan Nafisa Fiana dari FNKSDA sebagai pemantik diskusi tersebut.
Dalam tulisan ini yang coba narator uraikan adalah state-state dari salah satu narasumber di diskusi tersebut yaitu Gus Syatori dari SALAM Institute. Beliau menyampaikan bagaimana agama Islam menanggapi krisis iklim yang terjadi di Indonesia khususnya, umumnya yang terjadi di seluruh dunia. Dari sekian banyaknya fenomena krisis iklim, krisis ekologi atau bencana yang terjadi, satu hal yang menjadi pemicu semua itu yaitu, komodifikasi, komersialisasi, dan kapitalisasi sumber daya alam. Kita sebagai manusia tahu tugas kita di dunia ini adalah sebagai khalifah yang diberi kewenangan memanfaatkan, mengelola, dan tak lupa menjaga bumi ini termasuk yang hidup dan yang terkandung di dalamnya. Namun, pemanfaatan yang berlebihan tanpa adanya restorasi dan reklamasi ditambah dengan monopoli dan kerakusan pemanfaatan itu dilakukan untuk kepentingan sendiri atau hanya mementingkan golongannya sendiri tanpa mengaplikasikan cita-cita sila ke-5 Pancasila, itulah yang memicu bencana yang luar biasa yang dampaknya dirasakan seluruh orang. Kita tarik ke dalam konteks Negara yang melakukan pembangunan dengan mengeksploitasi alam, dengan narasi untuk kebutuhan rakyatnya. Apakah betul semua itu pure untuk rakyat? Seperti pembangunan PLTU Batu Bara untuk pasokan listrik, dan yang terjadi adalah surplus pasokan. Tapi, kenapa pembangunan-pembangunan itu terus massif dilakukan? Sebenarnya untuk siapa?. Yang jelas itu adalah pola-pola bisnis segelintiran orang yang memilik otoritas kekuasaan dan kekayaan yang sering kita sebut oligarki. Di samping dia memiliki kekayaan dia juga memiliki kekuasaan, sehingga memudahkannya untuk memanipulasi kebijakan-kebijakan untuk mempertahankan kekayaan atau kepentingannya
Jauh sekali dari tauladan Nabi Muhammad SAW yang menggunakan politiknya untuk kesejahteraan umatnya. Berikut salah satu kisah Rasulullah SAW yang membebaskan sebuah sumur yang menjadi tumpuan masyarakat Madinah pada waktu itu. Dikisahkan pada waktu itu Madinah mengalami musim kemarau dan paceklik, akibatnya masyarakat Madinah membutuhkan persediaan air. Mirisnya, pada waktu itu hanya ada satu-satunya sumber air yang menjadi tumpuan masyarakat, sumur itu dimilik seorang Yahudi, sumur itu dimanfaatkannya untuk dikomersilkan dengan harga yang tinggi dan kerap kali masyarakat harus mengantri untuk mendapatkan airnya. Meninjau air itu merupakan suguhan alam untuk manusia, artinya bisa dinikmati semua orang dengan gratis. Merasa prihatin melihat itu Rasulullah SAW membuat sebuah tindakan dengan sayembara kepada siapa saja yang bisa membebaskan sumur itu dari cengkraman kapitalis akan dijamin masuk surga. Lalu, ada seorang sahabat yang bersedia membebaskan sumur itu, sahabat itu bernama Utsman bin Affan. Utsman mendatangi orang Yahudi itu dan bernegosiasi untuk membeli sumur itu, padahal sudah ditawar dengan harga yang tinggi, orang Yahudi itu tetap tidak mau. Karena, jika dia menjual sumur itu maka, dia akan kehilangan penghasilannya. Utsman tidak menyerah, dia tetap melakukan negosiasi dengan menawarkan membeli separuh. Artinya, hari ini sumur tersebut milik Utsman esoknya milik si Yahudi itu. Akhirnya, orang Yahudi itu menyepakatinya, Setelah itu, Utsman mengumumkan ke semua masyarakat Madinah untuk mengambil air di sumur itu dengan sebanyaknya untuk persediaan dua hari ke depan. Karena, di hari berikutnya sumur tersebut kembali menjadi milik si orang Yahudi. Keesokan harinya, orang Yahudi ini merasa heran karena tidak ada masyarakat yang mengantri untuk membeli air. Lalu dia menyadari politik yang digunakan Utsman. Merasa putus asa, akhirnya dia menjual sumur itu secara penuh ke Utsman dengan harga yang sudah disepakati. Akhirnya, sumur itu dimiliki penuh oleh Utsman dan beliau mewakafkannya agar semua masyarakat bisa menikmatinya.
Dari kisah di atas, melihat sikap Rasulullah SAW mencerminkan bahwa Islam melarang komersialisasi tanah yang menjadi basis sumber kehidupan manusia. Berbeda lagi jika tanah itu dikelola bersama seperti akad syirkah dan mudharabah tentu itu yang dianjurkan Islam. Melalui sepenggal kisah itu, kita dapat melihat Rasulullah SAW membebaskan masyarakat dari cengkraman kapitalis dan ini merupakan implementasi land reform sejati yang sejak dahulu sudah dipraktikan Rasulullah SAW, beliau adalah reformer agrarian sejati yang patut kita teladani.
Dari semua kegiatan eksploitasi sumber daya alam yang paling krusial adalah kegiatan tambang ekstraktif. Sebab material fosil seperti mineral, andesit, granit dll yang sejak miliaran tahun lalu terkubur itu adalah pilar bumi ini. Coba pikirkan jika sebuah bangunan yang pilar-pilarnya dirobohkan tentu bangunan itu tidak lama lagi akan roboh pula. Semua kegiatan yang berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam itu bukan semata persoalan kebutuhan hidup. Tapi, untuk kepentingan bisnis dan kekayaan dengan kekuasaan, meraka membalutnya dengan kebijakan-kebijakan yang mereka buat untuk mempertahankan semua itu. Mereka tidak memperdulikan dampaknya apa lagi orang-orang yang terkena dampaknya. Ini real sebuah perbuatan yang dzalim dan perlu dicegah dan memerangi orang-orang yang merusak atau memicu krisis ekologi, krisis iklim, dan bencana merupakan jihad. Dan tidak ada kata 'terlambat dan tidak bisa’ untuk melakukan itu.
Penulis : Zikri Alvi
1 Komentar
Emang keren banget daaah
BalasHapus