Lahan Gambut Malinau, Terlupakan dalam Kepungan Proyek Strategis Nasional
30 Oktober
2021, SALAM Institute melakukan riset kolaboratif bersama ARC (Agrarian Resource
Center) Bandung dan RIHN (Research Institute for Humanity and Nature) Kyoto
Jepang. SALAM Institute diwakili oleh A. Syatori sebagai peneliti utama dan
ditemani oleh Siti Latifah sebagai asisten peneliti. Riset
kolaborasi dilakukan selama 23 hari di Malinau Kalimantan Utara. Riset yang
terhitung dilakukan sejak 30 Oktober hingga 21 November 2021 ini bertemakan
pengembangan ekonomi dan pertanian di Desa Peduli Gambut (DPG). Riset ini
bertujuan untuk mengidentifikasi pengelolaan hutan gambut di Indonesia dan
pengembangannya yang difasilitasi oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) Indonesia.
Malinau Kaltara
sebagai tujuan lokasi penelitian dipilih berdasar pada data Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK Republik Indonesia, pada SK Nomor 129/MENLKH/SETJEN/PKL.0/2/2017
tentang penetapan peta Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Nasional. Dalam data SK
tersebut, tercatat KHG Sungai Mentarang-Sungai
Sembakung memiliki luasan 160.471 ha. Berdasarkan data tersebut, KHG ini merupakan KHG terluas di Kaltara dan terluas dari pada
Provinsi lainnya di pulau Kalimantan. Mengacu pada data tersebut riset dilakukan di sejumlah desa di Kecamatan Malinau Kota Kabupaten Malinau, yakni desa Malinau Hilir, Tanjung Kranjang, dan Batu Lidung.
Sebagai kawasan yang dilalui oleh sungai Sesayap dan Sungai Bengalun, Kecamatan Malinau Kota memiliki
tipologi tanah berkontur rawa dan bergambut. Dahulu berdasarkan cerita penduduknya, Malinau
adalah hutan rawa yang lebat. Seiring dengan pemekaran Malinau dari Kabupaten
Bulungan pada tahun 1999, Malinau menjelma menjadi kota. Hutan rawa yang
beralih fungsi ini dipadati oleh penduduk yang berjumlah 82.519 jiwa pada tahun
2020. Malinau juga termasuk ke dalam Kabupaten terluas di Kaltara dengan luas
mencapai 40.088,38 km2.
Alih
fungsi hutan rawa menjadi perkotaan sudah massif dilakukan sejak tahun 1994
melalui program transmigrasi. Alhasil, kini Malinau memiliki penduduk yang
beragam, mulai dari penduduk asli yakni suku Dayak, Tana Toraja, Bugis dan
Jawa. Beragamnya suku di Malinau ini berpengaruh kepada pemanfaatan hutan rawa
untuk pengembangan ekonomi mereka masing-masing. Suku Dayak misalnya, masih
menggunakan kebiasaan hidupnya yakni menggarap ladang berputar. Artinya, suku
Dayak memiliki lahan yang berbeda setiap tahunnya untuk dikelola dalam bercocok
tanam. Sementara suku pendatang seperti, Tana Toraja dan Jawa, cenderung
memiliki lahan yang menetap dan mengelola lahan yang sama untuk kebutuhan
hidup.
Corak bercocok
tanam berputar maupun menetap pada hutan rawa, sama-sama melalui proses yang
sama yakni menebas, membakar dan menanam. Membakar adalah cara yang paling
efektif bagi masyarakat untuk menyiapkan lahan, sekaligus pembakaran
dimanfaatkan sebagai pupuk alami bagi tanah, sehingga tanah tetap subur.
Sedangkan meninggalkan lahan yang telah digarap dan berpindah ke lahan lain
bagi suku Dayak, berfungsi sebagai penjaga kestabilan tanah agar tetap subur.
Sampai saat ini cara hidup subsisten masih melekat kuat pada masyarakat
Malinau. Ini dibuktikan dengan berbagai hasil tani yang ditanam diutamakan
untuk kebutuhan konsumsi sendiri. Di samping itu, kondisi tanah rawa yang subur
mendukung pertanian di Malinau tumbuh tanpa pupuk kimia. Hanya saja, kontur
lahan rawa membutuhkan keahlian dan pengetahuan tentang teknik pertanian.
Kemampuan demikian di dominasi oleh masyarakat pendatang seperti masyarakat
Tana Toraja dan Jawa.
Saat ini
hutan rawa gambut yang terdapat di Malinau belum terpetakan berapa besar luas
arealnya. Dinas kehutanan setempat pun menyatakan hal demikian. Program
pengelolaan hutan gambut dan restorasi di lahan gambut ini pun belum terbentuk.
Restorasi lahan gambut di Malinau ini hanya terlihat pada program kanalisasi.
Lahan rawa dengan tipologi tanah basah, dapat dikelola untuk pertanian dan
pemukiman jika lahannya telah kering. Pengeringan lahan ini dilakukan dengan
pembuatan kanal. Kanalisasi adalah pembuatan saluran air yang alirannya
sampai pada sungai dan anak sungai yang terdekat. Aliran ini berfungsi sebagai
pengalir air yang terperangkap di lahan rawa akibat hujan dan luapan sungai.
Sementara tak terkelolanya lahan gambut melalui program DPG, lahan gambut di Malinau telah beralih fungsi. Infrastruktur jalan adalah salah satu bukti fisik alih fungsi lahan gambut di Malinau. Salah satu yang paling terlihat adalah jalan Hauling yang terbentang mulai dari desa Loreh sampai dengan Batu Lidung. Jalan Hauling adalah sebuah jalan yang difungsikan sebagai jalur transportasi bagi perusahaan batu bara yang pusat penambangannya terdapat di desa Loreh. Perusahaan ini tentu terhubung dengan sejumlah perusahaan lain seperti PLTU di wilayah Klapis, Malinau Seberang. Pembangunan infrastruktur untuk tambang ini tak hanya membawa efek debu yang dikeluhkan setiap hari oleh penduduk setempat. Tetapi, tambang batu bara juga menyebabkan dampak ekologis. Sejumlah media surat kabar dan warga Malinau mengabarkan tentang pencemaran sungai Sesayap yang terjadi akibat limbah batu bara.
Selain
beralih fungsi, lahan gambut di Malinau juga terancam dan terlupakan. Sepinya
perhatian terhadap lahan gambut seperti yang digadang-gadang BRG melalui
program Desa Peduli Gambut, senantiasa mengancam kelangsungan gambut di
Malinau. Dengan ini artinya fungsi hutan gambut sebagai penyeimbang iklim akan
hilang. Minimnya perhatian terhadap lahan gambut justru berbanding terbalik
dengan kabar yang berembus tentang sejumlah proyek strategis nasional. Sejumlah
proyek strategis nasional tengah dipersiapkan dengan begitu antusias
digaungkan. Sejumlah proyek strategis nasional direncanakan berdiri di Kaltara
seperti Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional (KIPI) Tanah
Kuning-Mangkupadi, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Kota Baru
Mandiri (KBM) Tanjung Selor dan pembangunan food and Rice Estate dapat dilihat
melalui sejumlah surat kabar seperti https://m.antaranews.com. Sederet proyek berbasis lahan ini
terlihat tidak sedang membicarakan masa depan lahan gambut di Kaltara, atau di
Malinau secara khusus.
9 Komentar
bang admin ada typo dijudul itu. harusnya RIHN
BalasHapusBravo
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMalinau merupakan sisa-sisa hirup bersih dari hamparan hitam paru-paru kalimantan . Jangan sampai masifnya alih fungsi lahan berujung pada maraknya bencana alam.
BalasHapusgambut itu ibaratnya paru-paru dunia. karena gambut iklim menjadi seimbang. kalau masif terbakar atau beralih fungsi, tentu bumi kita sudah tak memiliki peyeimbang lagi
BalasHapusKalau penyeimbang bumi lenyap, apa yang akan terjadi? Apakah ketakutan umat manusia akan terjadi dalam waktu dekat?
BalasHapussebagai umat biasa, tak ada yang mengetahui pasti dan jelas waktu itu kapan akan tiba. tetapi hasil dari belajar itu menjelaskan tanda2 yang mengarah kepadanya. Sungguh semua menuntut kita untuk berfikir dan bertindak
BalasHapusSALAM memang luar biasa, Bergerak untuk kemaslahatan rakyat, joss
BalasHapus