Oleh : Siti Latifah
Seperti yang telah tergambar pada cerita bagian pertama, anak-anak nelayan berada pada posisi yang jauh lebih bermasalah. Mereka dihadapkan dengan persoalan sosial yang mungkin tidak banyak disadari. Kemiskinan nelayan memaksa mereka untuk memutuskan jenjang pendidikannya. Sementara bekerja adalah pilihan logis atas kondisi yang belum tentu mereka ketahui dari mana asalnya. Mereka hanya memilih pada keadaan atas akar persoalan yang tak mereka mengerti, kemudian mereka harus terlibat lebih jauh di dalamnya.
Kait Kelindan Penyebab Persoalan Anak Putus Sekolah
Diskusi ringan pertama dilakukan dengan salah satu pemuda Citemu. Ia seorang mantan ketua Karang Taruna, sebut saja namanya AL. Dalam diskusi ini, AL lebih banyak mengeluh tentang persoalan yang terjadi pada komunitasnya, terutama anak-anak. Aura keprihatinan muncul dari wajahnya ketika ia menceritakan persoalan 'hamil diluar nikah' yang sempat mendera remaja putri. Belum lagi maraknya penyalahgunaan minuman keras dan obat-obatan terlarang. Berbagai persoalan ini ia akui sebagai dampak dari lemahnya pendidikan, baik formal maupun keagamaan. Menurutnya, remaja yang terjebak pada persoalan tersebut adalah remaja yang telah mampu hidup mandiri. Dalam arti mereka (baca: remaja nelayan) sudah mampu bekerja.
Dari hasil bekerjanya, kalangan remaja ini bisa membantu orang tua dan diri mereka sendiri. Produktivitas anak nelayan juga dipengaruhi oleh kebiasaan ikut melaut. Demikian AL menyebut hal itu menjadi salah satu penyebab utamanya. Kebiasaan ini membuat anak-anak merasa sekolah adalah hal yang tidak penting untuk dilakukan. Pasalnya sekolah lebih dianggap sebagai kegiatan yang membuang waktu saja, sementara banyak pekerjaan orang tua yang justru lebih terlihat hasilnya. Belum lagi himpitan ekonomi keluarga turut mendorong anak-anak untuk mengambil posisi sebagai tenaga kerja dalam rantai kerja nelayan. Semua dilakukan atas dasar memenuhi kebutuhan hidup.
Ketersediaan sumber daya yang ada di desa Citemu menjadikan warga masyarakatnya kreatif, demikian tandas AL. Warga mampu memanfaatkan segala hal yang ada disekelilingnya menjadi bernilai ekonomis. Seperti proses pengolahan rajungan. Pengolahan rajungan ini biasanya dilakukan oleh kaum hawa. Pengolahan rajungan biasa disebut dengan istilah ngupas. Pengolahan ini dilakukan dengan memisahkan daging dari cangkang rajungan. Umumnya pengolahan rajungan dilakukan pada waktu belajar anak-anak. Tetapi hampir semua perempuan bekerja sebagai seorang pengupas rajungan, baik tua maupun muda, bahkan anak-anak. Kondisi demikian mengakibatkan anak-anak mengesampingkan pendidikan mereka. Demikian tandas AL dalam menyikapi persoalan putus sekolah anak-anak nelayan.
AL juga menambahkan penyebab lain atas putus sekolah. AL menjelaskan bahwa perhatian orang tua terhadap anak sangat minim. Terutama dalam hal pendidikan dan pergaulan. AL menanggapi hal ini sebagai akibat dari rendah tingkat perekonomian nelayan. Selain itu kesibukan orang tua dengan berbagai pekerjaan laut yang sangat menyita waktu. Hal itu dianggap sebagai penyebab orang tua tidak ada waktu untuk mendidik anaknya. AL memperkuat argumentasinya dengan menjelaskan proses kerja nelayan. Para nelayan, harus berangkat melaut pada jam 02.00, kemudian kembali pada pukul 10.00. Setelah nelayan kembali dari laut, nelayan akan beristirahat dan berbenah memperbaiki peralatan tangkapnya begitu seterusnya. Argumentasi AL ini tak lantas diajukan sebagai pendiskreditan nelayan. Ia hanya sedang mencari benang merah atas kegelisahannya sendiri. Setelah ia menjabarkan detil tentang kait kelindan penyebab rendahnya pendidikan anak nelayan. Ia juga menjelaskan tentang potensi desanya. Sebenarnya Citemu memiliki sumber pekerjaan sampingan.
Berapa tahun belakangan, sejak 2010 home industry muncul di desa Citemu. Home industry ini adalah pembuatan bubu, oleh masyarakat dikenal juga istilah wadong. Bubu adalah sejenis alat tangkap rajungan yang berbentuk menyerupai perangkap tikus. Bahan yang dibutuhkan untuk membuat bubu ialah besi dan benang. Besi dibutuhkan untuk membuat kerangka perangkap. Sementara benang dibutuhkan untuk dijadikan jaring dengan cara merajut. Pembuatan bubu biasanya a dikerjakan secara individu dan berkelompok. Ada tukang khusus yang terdiri dari laki-laki yang bertugas membuat kerangka bubu. Sementara perempuan lebih berkonsentrasi pada perajutan jaring.
Industri bubu ini termasuk pada jenis padat karya. Warga Citemu bebas menggarap wadong di rumah masing-masing. Biasanya mereka bisa mulai menggarap di waktu malam, ataupun di waktu senggang. Selain itu warga juga bebas menggarap wadong di rumah masing-masing. Maka tidak heran jika rumah penduduk terlihat mengerjakan pekerjaan ini. Pembuatan wadong umumnya dikerjakan oleh nelayan dan istri nelayan. Tetapi anak-anak nelayan juga turut terlibat dalam pengerjaannya.
Industri wadong sebagai mana dijelaskan oleh AL adalah titik di mana anak nelayan menempati salah satu lini kerja. Sebagian mereka bekerja atas dasar kesadaran karena ingin membantu orang tua. Alasan demikian jika dipetakan akan lebih banyak diungkapkan oleh para orang tua. Ada juga yang beralasan karena orang tua menyuruh memnafaatkan waktu untuk bekerja dari pada bermain. Alasan demikian akan lebih banyak diungkapkan oleh anak-anak nelayan. Demikian AL terlihat kebingungan ketika mengulik persoalan berdasarkan alasan korbannya. Namun AL kembali menegaskan bahwa sebab mereka putus sekolah karena mereka telah bekerja. Di sisi lain AL juga menambahkan ada sebuah kasus putus sekolah yang dialami oleh anak yang tergolong mampu ekonominya. Baginya anak-anak yang demikian memang sedikit, tetapi hal yang melatarbelakanginya bukan soal ekonomi. AL menilai hal ini lebih dikarenakan kemalasan anak itu sendiri.
Pernak-pernik Persoalan Anak Nelayan: Remaja Putri Selalu Bernasib Lebih Buruk
Lebih dalam AL menjelaskan tentang persoalan hamil di luar nikah. Persoalan ini umumnya menimpa remaja. AL menceritakan bahwa hal demikian sering terjadi akibat pacaran. Belum lagi lingkungan sosial warga Citemu sangat mendukung. Menurutnya remaja kerap kali berkumpul terutama di hari minggu. Mereka sering bergerombol juga sering bergerombol ketika ada pasar malam di pusat desa. Setelah itu mereka lebih senang duduk ditempat yang gelap. Herannya hal demikian menjadi sesuatu yang lumrah. AL menganggap demikian karena menurutnya perbuatan demikian termasuk dosa. Maka sepatutnya pembuat dosa merasa malu dan tak mengulang lagi.
Namun yang terjadi pada remaja Citemu justru bersebrangan. AL menggap bahwa malu setelah melakukan dosa itu tertutupi setelah korban dinikahkan. Biasanya mereka akan dinikahkan tanpa ada pesta. Istilah masyarakat disebut dengan kawin kiyai. Tetapi lebih parahnya lagi AL menyebutkan bahwa ada yang sengaja menikah dengan membuat pengajian umum.
Persoalan hamil di luar nikah memang hal yang memilukan, terlebih korbannya remaja. Begitu juga dengan AL memiliki perasaan yang sama. Namun apalah daya ia tak mampu mengontrol lingkungan sekitarnya. Ia hanya terus bercerita bahwa hal demikiaj terjadi karena sebab yang kompleks. Di antaranya adalah kurangnya rasa takut anak terhadap orang tuanya. Anak-anak yang demikian adalah anak yang telah mampu bekerja. Biasanya karena bekerja mereka bahkan bisa membantu orang tuanya. Kondisi anak yang demikian membuatnya besar kepala, ia tak mau lagi diatur oleh orang tuanya. Pengggunaan uang hasil kerja biasanya dapat digunakan sekehendak hatinya. Apalagi soal pergaulannya, mereka sudah tidak dapat dibatasi dengan aturan orang tua lagi. Batasan-batasan orang tua terhadap anak seolah tidak berarti. Orang tua menjadi merasa lelah dan tak punya waktu untuk mengawasi anaknya. Terlebih anak nelayan yang sudah bisa bekerja selalu dianggap sudah besar. Sehingga ia seolah sudah mampu mengatur diri sendiri.
Kait kelindan penyebab persoalan anak nelayan membuat AL semakin bingung. Terlebih semakin banyak hal yang ia utarakan. Kebebasan anak seolah menjadi alasan utama bagi pergaulan negatif remaja. Kondisi lingkungan juga turut mendidik. Dimulai dengan hubungan interaksi sosial hingga tradisi. Desa Citemu terkenal dengan tradisi 'nadran'-nya. Di dalamnya terdapat berbagai pernak-pernik pesta rakyat. Warga mengekspresikan pesta dengan berbagai hal. Salah satu yang umum adalah mengadakan hiburan, seperti wayang, orkes dangdut, dan karnaval. Justru yang terbaru di desa Citemu adalah mengadakan pengajian. Namun dibalik berbagai pesta perayaan itu selalu diwarnai dengan pesta lain. Yang sering sebagian warga adalah mengkonsumsi minuman keras. Bahkan kegiatan mabok ini bukan hanya dilakukan pada saat ada pesta perayaan. Di hari-hari lain, warga juga melakukannya termasuk remaja. Kebebasan pergaulan seperti ini yang membuat mereka cenderung pada hal negatif.
Kebebasan pergaulan remaja selalu melebar ke berbagai hal. Ia tak hanya menjadi pecandu minuman keras. AL juga menambahkan bahwa dimungkinkan anak-anak juga pecandu obat terlarang. Budaya minuman keras juga selalu berujung pada persoalan kriminal. Beberapa di antara yang sering terjadi adalah bentrok. Dalam keadaan tidak sadar, sesama remaja yang sedang mabok sering terjadi pertikaian. Baku hantam sering terjadi antar remaja dan memicu keributan. Beberapa di antaranya berujung pada luka-luka.
Berbagai pergaulan negatif tersebut selalu dialami oleh anak yang putus sekolah. Lagi-lagi AL merunut penyebab anak putus sekolah. Selain rumitnya penyebab yang telah dipaparkan di atas, AL juga menambahkan bahwa problem putus sekolah juga disebabkan oleh minimnya sarana pendidikan. AL merunut sarana pendidikan di desa Citemu. Di sana hanya terdapat tiga sekolah dasar dan satu pendidikan tingkat kanak-anak. Sementara sarana pendidikan tingkat lanjut letaknya lebih jauh. Sebenarnya secara jarak warga tidak kesulitan. Pasalnya sarana transportasi yang menghubungkannya sudah memadai. Putus sekolah menjadi pilihan karena alasan lain. Beberapa di antaranya ialah orang tua enggan menyekolahkan anaknya karena rasa takut. Ketakutan orang tua terhadap keselamatan anaknya. Alasannya adalah jauhnya akses pendidikan jenjang SMP dari desa Citemu. Alasan ini didukung dengan ketakutan anaknya kecelakaan. Hingga takut anaknya menjadi korban kenakalan anak-anak yang lain. Alasan utama adalah tidak adanya ongkos untuk anaknya sekolah.
Penyebab pendukung lainnya ialah minimnya wadah bagi anak nelayan. Wadah anak nelayan dinilai oleh AL sebagai hal yang penting. Melalui wadah itu anak-anak akan mudah menyalurkan bakat dan hobinya. Sehingga ada pelampiasan rasa ingin tahu dari anak remaja. Wadah ini setidaknya bisa mengarahkan pada hal yang positif. Sementara yang terjadi di Citemu sebaliknya. Kegiatan kepemudaan seolah sepi bahkan tidak terlihat. Bahkan karang taruna sebagai medianya pun tak menampakkan wujudnya. Ia hanya muncul pada event tertentu, kemudian hilang kembali. Eksistensi Karang Taruna sebagai wadah bagi remaja dan pemuda dianggap nihil. Oleh karena, wajar saja jika anak nelayan lebih cenderung melampiaskan pada hal yang lain. Anak-anak sebagaimana umumnya selalu merasa ingin tahu dan mencoba. Maka setiap hal baru yang ia temui akan ia coba. Tak perduli apakah itu baik atau tidak.
Hilangnya Wadah Penyalur Kreativitas Anak Nelayan
AL pernah menjabat sebagai ketua karang taruna di desanya. Tentang ketokohannya ia juga bercerita banyak hal. Sewaktu ia masih menjabat menjadi ketua karang taruna banyak kegiatan kepemudaan yang ia lakukan. Di antaranya adalah kegiatan olah raga, terutama sepak bola. ia bersama pengurus karang taruna membuat event pertandingan olah raga. Sebelumnya ruang-ruang publik desa juga dijadikan sebagai tempat latihan. Event-event pertandingan olah raga tersebut pernah ia laksanakan pada hari-hari peringatan, seperti kemerdekaan.
AL juga menegaskan bahwa banyak anak-anak Citemu yang memiliki potensi. Baik dalam bidang akademik maupun olah raga. Hanya saja potensi mereka tidak tergali dengan baik karena lemahnya wadah kepemudaan di desa Citemu. ketika ia berbicara soal ini, ia terhenyak sedih seolah kehilangan. Kemudian ia menjabarkan penyebabnya. Karang taruna sebagai wadah bagi anak muda saat ini kendalikan oleh aparat desa. Anggota dan pengurus karang taruna tidak memiliki otoritas apapun untuk bergerak. Mereka hanya bergerak ketika ada intruksi dari kepala desa. Selebihnya organisasi karang taruna hanya sekedar nama.
Semakin jauh ia membandingkan pada saat posisinya di karang taruna. Ternyata ia memiliki cerita pilu tersendiri tentang hal itu. Ketiadaan kegiatan pemuda menurutnya setelah ia tak lagi di dalamnya. Ia lepas dari jabatan karang taruna dianggapnya tidak wajar. Tak ada pemilihan ketua baru, tak ada serah terima jabatan dan tak ada laporan pertanggungjawaban. Ia kaget ketika suatu hari ia kedatangan tamu. Tamu tersebut meminta seragam karang taruna. Tentu saja dengan kabar bahwa posisinya telah digantikan dengan yang lain. Ia merasa dikebiri oleh aparat desa setempat. Akhirnya ia kecewa dan melepas jabatannya sebagai ketua karang taruna. Sejek saat itu, ia merasa kegiatan pemuda hilang. Karang taruna tidak berfungsi sebagaimana seharusnya. Sejak saat itu AL menjadi antipati terhadap arah politik desa. Ia lebih memilih untuk tidak turut campur. Akhirnya ia sibuk dengan kegiatan mengajar disatu-satunya Madrasah Ibtidaiyyah di Citemu. Selain itu ia juga lebih aktif pada kegiatan pramuka.
AL menganggap kurangnya eksistensi anak muda dan remaja dalam menuangkan kreativitasnya menjadi salah satu penyebab munculnya kenakalan remaja di desa Citemu. Selain itu, dalam berbagai hal eksistensi anak muda dan remaja desa Citemu tidak terlihat selain karena minimnya wadah juga karena peran dominan orang tua dalam berbagai kegiatan yang ada di Citemu. Baik yang terkait dengan pemerintahan desa maupun kegiatan kepemudaan itu sendiri dan juga kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan. Geliat politik desa saat itu juga berada pada genggaman orang tua. Pemuda hanya berposisi sebagai pelaksana kegiatan. Pun juga dengan kegiatan keagamaan.
Kepengurusan masjid saat ini memang dipegang oleh pemuda. Akan tetapi pemuda nelayan tetap belum tersentuh atau terlibat di dalamnya. Meski kepemimpinan masjid berada pada pemuda, tapi arah geraknya tetap saja diatur oleh sesepuh terkait. Semua kegiatan keagamaan hanya mengarah pada ritual ibadah dan pengajian. Alhasil hasil kegiatan ini hanya disukai oleh warga yang bukan nelayan. Memang saat ini geliat keagamaan di desa sedang meningkat. Penilaian demikian hanya karena semakin banyak anak yang sekolah di madrasah ibtidaiyyah. Selebihnya pemuda nelayan tetap berada posisinya, bekerja dan bekerja dalam jerat sengkarut struktur sosialnya sendiri.
Tentu saja, beragam masalah sosial yang dialami oleh anak-anak nelayan ini bukan serta-merta ada, melainkan terkait kelindan dengan struktur sosial-ekonomi yang rumit dan mengakar dalam komunitas itu sendiri. Tentu saja lebih besar dari itu jejaring kapitalisme rerantai komoditas ‘rajungan’ tangkap yang menjadi basis ekonomika masyarakat nelayan sendiri. Pernak-pernik masalah kultural, terutama masalah pendidikan anak nelayan dalam hal ini, tidak lepas dari kemiskinan struktural yang sejak lama menjerat mereka: jerat hutang dalam sistem perbakulan komoditas rajungan. Alhasil, tanpa melihat persoalan serius ini, kebijakan penaggulangan apa pun, akan salah arah dan masalah yang ada tak akan beranjak kemana-mana!
4 Komentar
Josss
BalasHapusSeandainya, banyak orang yang berpikiran jernih dan mau memikirkan serta bertindak untuk kemaslahatan, Tentu problem sosial itu terkikis habis
BalasHapusTapi apapun itu, semangat terus untuk admin dan jajaranya
BalasHapussemoga ya dengan tulisan ini banyak orang yg memiliki perspektif yg memihak kepada anak nelayan. jaya selalu generasi bahari
BalasHapus