Popular

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Kemiskinan dan Sengkarut Problem Pendidikan Anak-anak Nelayan (Kilas Balik Cerita Sekolah Bahari Citemu (SBC), Bagian 1)



Oleh : Siti Latifah

Di saat sebagian orang di belahan dunia lain riuh dalam hingar bingar kemajuan ilmu pengetahuan, anak-anak Nelayan Citemu justru memilih berjibaku dengan hasil tangkapan. Sekilas pemandangan ini akan menguatkan statement umum, bahwa anak nelayan memang terbelakang, udik dan tak terpelajar. Kenapa? Karena mereka lebih memilih untuk bekerja dari pada sekolah. Tak seperti anak lain pada umumnya.

Nasib Anak Nelayan di Balik Kemiskinan Struktural

Citemu adalah salah satu desa di kabupaten Cirebon yang terkenal sebagai desa nelayan. Secara administratif Citemu termasuk dalam kecamatan Mundu. Sebuah desa yang terletak di kawasan Cirebon Timur. Secara geografis, desa ini terletak di bibir pantai, tidak heran jika secara umum penduduknya bekerja sebagai nelayan, atau yang berhubungan dengannya. Sebagai desa nelayan, Citemu memiliki karakteristik dan label nelayan melekat erat di dalamnya. Seperti, selalu terdengar sebagai daerah tertinggal, miskin, kumuh, dan berwatak keras. Deretan pandangan umum tersebut sekilas nampak benar. Lihat saja lingkungan fisiknya, terlebih jika anda berkunjung pada jam di mana anak-anak seharusnya berada di sekolah. Anda mungkin akan mendapati pemandangan lain, di sana sebagian anak lebih memilih berada di rumah atau baru kembali dari laut. Untuk membuktikannya diperlukan perhartian khusus. Seperti belajar bersama nelayan untuk membedah secara mendalam tentang hal itu. Demikian ringkasan belajar bersama nelayan.

Masyarakat Citemu umumnya merupakan nelayan yang bekerja pada sektor tangkap. Jenis pekerjaan ini tidak dapat dilakukan secara mandiri. Jenis pekerjaan ini membutuhkan organisasi kerja team agar mampu menghasilkan tangkapan. Organisasi kerja nelayan tangkap juga tak lepas dari kepemilikan alat-alat produksi. Maka tak heran jika ada strata kelas dalam komposisi masyarakat nelayan. Siapa yang menguasai alat-alat produksi, maka ia yang berada pada strata kelas yang tinggi. Dari sini tidak aneh jika dalam struktur kerja nelayan ada istilah ABK, juragan, bakul, dan bos. Dalam masyarakat Citemu, ABK diistilahkan dengan bidak. Ia adalah orang-orang yang berada pada kelas terbawah. Pasalnya ABK tidak memiliki alat-alat produksi yang dibutuhkan oleh nelayan tangkap, baik perahu atau jika memiliki peralatan tangkap pun hanya sedikit dan kecil. Nelayan Citemu juga mengenal istilah juragan. Ia adalah orang-orang yang berada pada kelas menengah, karena ia memiliki alat-alat produksi yang lebih banyak dan lengkap. Maka tak heran jika juragan lebih berkuasa di dalam perahu dari pada bidak. Juragan dapat sesuka hati membawa jaring lebih banyak dari pada bidak. Ia juga berhak atas penentuan lokasi dan pembagian kerja atas kapalnya. Terlebih ia juga berhak atas hasil tangkapan yang diperoleh oleh bidak-bidaknya.

Sementara bakul ialah orang-orang yang posisinya lebih tinggi dari pada juragan. Posisi ini ditempati oleh para pedagang. Oleh karenanya, pantas jika bakul-bakul disebut sebagai pedagang perantara. Bakul berperan sebagai distributor hasil tangkapan nelayan. Ia juga menguasai modal yang lebih besar. Tidak heran jika bakul selalu berperan sebagai tempat akses modal bagi nelayan. Sementara bos adalah segelintir orang dari masyarakat yang berfungsi sebagai suplayer. Ialah tempat para bakul mendistribusikan hasil tangkapan nelayan. Dari suplayer hasil tangkapan nelayan kemudian dipasarkan keberbagai wilayah baik lokal maupun internasional. Hal ini berbanding terbalik dengan bidak, komposisinya jauh lebih banyak dalam susunan kelas masyarakat nelayan Citemu.

Susunan kelas dalam masyarakat nelayan berdampak pada pembagian hasil produksi tangkapan. Dalam hal ini bidak selalu mendapatkan bagian yang terendah. Pasalnya, pengahsilannya harus terlebih dahulu dipotong oleh juragan, hal ini dimaksudkan sebagai ongkos transportasi perahu. Besaran potongan tersebut ialah 20% dari hasil tangkap, ini jika nelayan bidak bekerja pada mekanisme berlayar harian. Lain cerita jika bidak turut dalam mekanisme berlayar babang, atau menggunakan alat yang lebih besar. Umumnya, bidak memang tidak mengeluarkan modal operasional apapun, seluruhnya sudah ditanggung oleh juragan atau pemilik perahu. Alhasil, pembagian hasil tangkap dalam mekanisme berlayar babang ini seluruhnya ditentukan oleh juragan. Proporsi kerja dan akses terhadap penghasilan dan bagi hasil ini sering kali membawa masalah pada kekuragan ekonomi nelayan. Disini problem yang paling kentara adalah kemiskinan.

kemiskinan nelayan dapat dilihat dari sistem distribusi hasil tangkapannya. Sistem distribusi adalah penentu atas pendapatan yang diperoleh nelayan. Maka dari sini bisa dilihat bagaimana sebenarnya penentuan pendapatan nelayan. Seperti yang dijelaskan oleh Marx dalam ekonomi politiknya. Marx menggambarkan logika ekonomi dengan lambang M-C-M’. Artinya, dalam pengelolaan sumber daya alam, kerja memang sangat penting; akan tetapi pembagian hasil atas pengelolaan sumber daya alam tersebut tetap bertumpu pada pemegang modal. Modal tersebut baik uang maupun alat-alat produksi. Pun dalam masyarakat nelayan juga demikian, pengetahuan dan kerja keras bidak tidak menjadi ukuran atas hasil tangkapannya. Justru sebaliknya, penguasa modal lah yang lebih dominan atasnya. Maka tidak heran jika dalam rantai ekonomi nelayan, bidak selalu mendapatkan bagian yang terendah. Sistem bagi hasil tersebut dapat dipandang sebagai ketidakadilan. Pasalnya dalam struktur kerja, bidak mendapat porsi kerja jauh lebih berat. Tapi posisinya selalu di bawah, hanya karena tak memiliki akses terhadap alat produksi.

Kemiskinan nelayan juga dapat dilihat dari struktur perekonomiannya. Struktur ekonomi nelayan selalu didominasi oleh sistem perbakulan. Sistem tersebut berdampak pada ketergantungan nelayan terhadap bakuk. Bakul memainkan peran modalnya dengan mengikat nelayan melalui hutang. Hubungan piutang tersebut memunculkan serentetan ketentuan. Di antaranya, peraturan pengurangan harga jual hasil tangkapan. Bahkan penetapan harga jual hasil tangkapan yang ditentukan oleh para Bakul. Alhasil, nelayan tidak memiliki kekuasaan terhadap hasil tangkapannya. Di sisi lain Bakul menjual hasil pengumpulannya dengan harga yang lebih tinggi. Tanpa bersusah payah melakukan kegiatan penangkapan, Bakul dapat memperoleh keuntungan yang lebih tinggi dari pada nelayan. Demikianlah sistem penghisapan yang terjadi dalam masyarakat nelayan.

Selain itu nelayan harus berhadapan dengan bayang-bayang fluktuasi alam. Maka tidak heran jika pendapatan nelayan dikatakan tidak menentu. Disinilah letak ketidakberdayaan nelayan. Mereka tidak memiliki kekuatan untuk keluar dari sistem perekonomian ala bakul. Hal tersebut terjadi karena nelayan selalu hidup dalam bayang-bayang penghasilan yang rendah. Sementara disisi lain, kebutuhan hidup dan pekerjaannya membutuhkan akumulasi modal yang besar. Oleh karenanya, nelayan cenderung pasrah dengan kesulitan hidupnya. Sikap pasrah dan pesimis tersebut ditunjukkan melalui ketidakberdayaannya untuk keluar dari sistem perekonomian tersebut. Nelayan lebih memilih bergelut dalam lingkaran sistem perekonomian ala bakul. Demikian seterusnya masyarakat nelayan menjalani hidupannya. Sampai pada akhirnya harus menumpuk hutang untuk keperluan hidup.

Sikap pesimis nelayan ditunjukkan dengan tindakan apatis terhadap kegiatan-kegiatan sosial di darat. Nelayan lebih memilih melakukan aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaannya. Baginya itu adalah tuntutan utama. Sementara kerja sosial seperti kebersihan lingkungan dapat dikesampingkan. mereka menganggap hal itu kurang penting dan dapat dilakukan segelintir orang saja. Sikap pesimis terparah adalah munculnya rasa putus asa. Nelayan sendiri seolah membenarkan judgement bahwa ia adalah kalangan bawah. Bekerja kasar dengan penghasilan kecil. Sikap seperti ini terus ditularkan sampai pada generasi penerusnya. Sikap apatis nelayan ditularkan melalui model pendidikan keluarga. Model tersebut ditanamkan dengan membiasakan anak-anaknya untuk bekerja. Nelayan terbiasa mengajak anak-anaknya bekerja di laut sejak usia sekolah dasar.  Kebiasaan ini adalah salah satu pilihan logis atas kemiskinan yang mendera nelayan. Akibatnya, anak-anak tidak dapat mengenyam pendidikan.

Disamping penghasilan yang tak cukup untuk kebutuhan pendidikan anak, organisasi kerja nelayan juga menuntut panggilan tenaga kerja. Bagian-bagian kerja nelayan mulai dari penyiapan alat tangkap, produksi, hingga mengelola hasil tangkapan semua membutuhkan tenaga ahli dan terampil. Bisa saja nelayan mempatkan buruh panggilan untuk mengisi bagian-bagian kerja tersebut. Namun konsekuensinya nelayan harus menyiapkan upah untuk buruh tersebut. Sementara di balik tuntutan itu, penghasilan nelayan sungguh tidak pernah cukup untuk memenuhi biaya upah para buruh. Alhasil, untuk meminimalisir pengeluaran modal yang besar, semua lini pekerjaan harus dikerjakan sendiri. Oleh karenanya, seluruh anggota keluarga termasuk anak-anak terpaksa berpartisipasi untuk mengisi setiap lini pekerjaan.

Dampak dari sikap apatis dan pesimis keluarga nelayan adalah rendahnya tingkat pendidikan anak-anak nelayan. Hal ini dapat dibuktikan denga keterlibatan anak-anak dalam pekerjaan nelayan, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan tak jarang anak-anak itu sendiri yang memilih untuk putus sekolah dari pada meninggalkan pekerjaannya. Hal ini dilakukan bukan tanpa sebab, mereka lebih memilih membantu orang tuanya dengan alasan penghasilan tak cukup untuk kebutuhan makan keluarga, apalagi untuk sekolah. Kondisi ini yang kemudian memaksa mereka menjadi tulang punggung keluarga diusia yang masih muda. Pada akhirnya, anak nelayan terjerat pada problem sosial. Rendahnya tingkat pendidikan anak nelayan menjebaknya pada persoalan remaja yang kompleks. Seperti munculnya persoalan kenakalan remaja, pergaulan bebas, hingga seks di luar nikah.

Sumber Bacaan :

Kusnadi. 2007. Strategi Hidup Masyarakat Nelayan. Yogyakarta: Lkis.

 _______. 2008. Akar Kemiskinan Nelayan. Yogyakarta: Lkis.


Posting Komentar

4 Komentar