Oleh : Siti Latifah
Di saat sebagian orang di belahan dunia lain riuh dalam hingar bingar kemajuan ilmu pengetahuan, anak-anak Nelayan Citemu justru memilih berjibaku dengan hasil tangkapan. Sekilas pemandangan ini akan menguatkan statement umum, bahwa anak nelayan memang terbelakang, udik dan tak terpelajar. Kenapa? Karena mereka lebih memilih untuk bekerja dari pada sekolah. Tak seperti anak lain pada umumnya.
Nasib
Anak Nelayan di Balik Kemiskinan Struktural
Citemu
adalah salah satu desa di kabupaten Cirebon yang terkenal sebagai desa nelayan.
Secara administratif Citemu termasuk dalam kecamatan Mundu. Sebuah desa yang
terletak di kawasan Cirebon Timur. Secara geografis, desa ini terletak di bibir
pantai, tidak heran jika secara umum penduduknya bekerja sebagai nelayan, atau
yang berhubungan dengannya. Sebagai desa nelayan, Citemu memiliki karakteristik
dan label nelayan melekat erat di dalamnya. Seperti, selalu terdengar sebagai
daerah tertinggal, miskin, kumuh, dan berwatak keras. Deretan pandangan umum
tersebut sekilas nampak benar. Lihat saja lingkungan fisiknya, terlebih jika
anda berkunjung pada jam di mana anak-anak seharusnya berada di sekolah. Anda mungkin
akan mendapati pemandangan lain, di sana sebagian anak lebih memilih berada di
rumah atau baru kembali dari laut. Untuk membuktikannya diperlukan perhartian
khusus. Seperti belajar bersama nelayan untuk membedah secara mendalam tentang
hal itu. Demikian ringkasan belajar bersama nelayan.
Masyarakat
Citemu umumnya merupakan nelayan yang bekerja pada sektor tangkap. Jenis
pekerjaan ini tidak dapat dilakukan secara mandiri. Jenis pekerjaan ini
membutuhkan organisasi kerja team agar mampu menghasilkan tangkapan. Organisasi
kerja nelayan tangkap juga tak lepas dari kepemilikan alat-alat produksi. Maka
tak heran jika ada strata kelas dalam komposisi masyarakat nelayan. Siapa yang
menguasai alat-alat produksi, maka ia yang berada pada strata kelas yang tinggi.
Dari sini tidak aneh jika dalam struktur kerja nelayan ada istilah ABK,
juragan, bakul, dan bos. Dalam masyarakat Citemu, ABK diistilahkan dengan
bidak. Ia adalah orang-orang yang berada pada kelas terbawah. Pasalnya ABK
tidak memiliki alat-alat produksi yang dibutuhkan oleh nelayan tangkap, baik
perahu atau jika memiliki peralatan tangkap pun hanya sedikit dan kecil.
Nelayan Citemu juga mengenal istilah juragan. Ia adalah orang-orang yang berada
pada kelas menengah, karena ia memiliki alat-alat produksi yang lebih banyak
dan lengkap. Maka tak heran jika juragan lebih berkuasa di dalam perahu dari
pada bidak. Juragan dapat sesuka hati membawa jaring lebih banyak dari pada
bidak. Ia juga berhak atas penentuan lokasi dan pembagian kerja atas kapalnya.
Terlebih ia juga berhak atas hasil tangkapan yang diperoleh oleh
bidak-bidaknya.
Sementara
bakul ialah orang-orang yang posisinya lebih tinggi dari pada juragan. Posisi
ini ditempati oleh para pedagang. Oleh karenanya, pantas jika bakul-bakul
disebut sebagai pedagang perantara. Bakul berperan sebagai distributor hasil
tangkapan nelayan. Ia juga menguasai modal yang lebih besar. Tidak heran jika
bakul selalu berperan sebagai tempat akses modal bagi nelayan. Sementara bos
adalah segelintir orang dari masyarakat yang berfungsi sebagai suplayer. Ialah
tempat para bakul mendistribusikan hasil tangkapan nelayan. Dari suplayer hasil
tangkapan nelayan kemudian dipasarkan keberbagai wilayah baik lokal maupun
internasional. Hal ini berbanding terbalik dengan bidak, komposisinya jauh
lebih banyak dalam susunan kelas masyarakat nelayan Citemu.
Susunan
kelas dalam masyarakat nelayan berdampak pada pembagian hasil produksi
tangkapan. Dalam hal ini bidak selalu mendapatkan bagian yang terendah. Pasalnya,
pengahsilannya harus terlebih dahulu dipotong oleh juragan, hal ini dimaksudkan
sebagai ongkos transportasi perahu. Besaran potongan tersebut ialah 20% dari
hasil tangkap, ini jika nelayan bidak bekerja pada mekanisme berlayar harian. Lain
cerita jika bidak turut dalam mekanisme berlayar babang, atau menggunakan alat
yang lebih besar. Umumnya, bidak memang tidak mengeluarkan modal operasional
apapun, seluruhnya sudah ditanggung oleh juragan atau pemilik perahu. Alhasil,
pembagian hasil tangkap dalam mekanisme berlayar babang ini seluruhnya
ditentukan oleh juragan. Proporsi kerja dan akses terhadap penghasilan dan bagi
hasil ini sering kali membawa masalah pada kekuragan ekonomi nelayan. Disini
problem yang paling kentara adalah kemiskinan.
kemiskinan
nelayan dapat dilihat dari sistem distribusi hasil tangkapannya. Sistem
distribusi adalah penentu atas pendapatan yang diperoleh nelayan. Maka dari
sini bisa dilihat bagaimana sebenarnya penentuan pendapatan nelayan. Seperti
yang dijelaskan oleh Marx dalam ekonomi politiknya. Marx menggambarkan logika
ekonomi dengan lambang M-C-M’. Artinya, dalam pengelolaan sumber daya alam,
kerja memang sangat penting; akan tetapi pembagian hasil atas pengelolaan
sumber daya alam tersebut tetap bertumpu pada pemegang modal. Modal tersebut
baik uang maupun alat-alat produksi. Pun dalam masyarakat nelayan juga
demikian, pengetahuan dan kerja keras bidak tidak menjadi ukuran atas hasil
tangkapannya. Justru sebaliknya, penguasa modal lah yang lebih dominan atasnya.
Maka tidak heran jika dalam rantai ekonomi nelayan, bidak selalu mendapatkan
bagian yang terendah. Sistem bagi hasil tersebut dapat dipandang sebagai
ketidakadilan. Pasalnya dalam struktur kerja, bidak mendapat porsi kerja jauh
lebih berat. Tapi posisinya selalu di bawah, hanya karena tak memiliki akses
terhadap alat produksi.
Kemiskinan
nelayan juga dapat dilihat dari struktur perekonomiannya. Struktur ekonomi
nelayan selalu didominasi oleh sistem perbakulan. Sistem tersebut berdampak
pada ketergantungan nelayan terhadap bakuk. Bakul memainkan peran modalnya
dengan mengikat nelayan melalui hutang. Hubungan piutang tersebut memunculkan
serentetan ketentuan. Di antaranya, peraturan pengurangan harga jual hasil
tangkapan. Bahkan penetapan harga jual hasil tangkapan yang ditentukan oleh
para Bakul. Alhasil, nelayan tidak memiliki kekuasaan terhadap hasil
tangkapannya. Di sisi lain Bakul menjual hasil pengumpulannya dengan harga yang
lebih tinggi. Tanpa bersusah payah melakukan kegiatan penangkapan, Bakul dapat
memperoleh keuntungan yang lebih tinggi dari pada nelayan. Demikianlah sistem
penghisapan yang terjadi dalam masyarakat nelayan.
Selain itu
nelayan harus berhadapan dengan bayang-bayang fluktuasi alam. Maka tidak heran
jika pendapatan nelayan dikatakan tidak menentu. Disinilah letak ketidakberdayaan
nelayan. Mereka tidak memiliki kekuatan untuk keluar dari sistem perekonomian
ala bakul. Hal tersebut terjadi karena nelayan selalu hidup dalam bayang-bayang
penghasilan yang rendah. Sementara disisi lain, kebutuhan hidup dan
pekerjaannya membutuhkan akumulasi modal yang besar. Oleh karenanya, nelayan
cenderung pasrah dengan kesulitan hidupnya. Sikap pasrah dan pesimis tersebut
ditunjukkan melalui ketidakberdayaannya untuk keluar dari sistem perekonomian
tersebut. Nelayan lebih memilih bergelut dalam lingkaran sistem perekonomian
ala bakul. Demikian seterusnya masyarakat nelayan menjalani hidupannya. Sampai
pada akhirnya harus menumpuk hutang untuk keperluan hidup.
Sikap pesimis
nelayan ditunjukkan dengan tindakan apatis terhadap kegiatan-kegiatan sosial di
darat. Nelayan lebih memilih melakukan aktivitas yang berhubungan dengan
pekerjaannya. Baginya itu adalah tuntutan utama. Sementara kerja sosial seperti
kebersihan lingkungan dapat dikesampingkan. mereka menganggap hal itu kurang
penting dan dapat dilakukan segelintir orang saja. Sikap pesimis terparah
adalah munculnya rasa putus asa. Nelayan sendiri seolah membenarkan judgement
bahwa ia adalah kalangan bawah. Bekerja kasar dengan penghasilan kecil. Sikap
seperti ini terus ditularkan sampai pada generasi penerusnya. Sikap apatis
nelayan ditularkan melalui model pendidikan keluarga. Model tersebut ditanamkan
dengan membiasakan anak-anaknya untuk bekerja. Nelayan terbiasa mengajak
anak-anaknya bekerja di laut sejak usia sekolah dasar. Kebiasaan ini adalah
salah satu pilihan logis atas kemiskinan yang mendera nelayan. Akibatnya,
anak-anak tidak dapat mengenyam pendidikan.
Disamping
penghasilan yang tak cukup untuk kebutuhan pendidikan anak, organisasi kerja
nelayan juga menuntut panggilan tenaga kerja. Bagian-bagian kerja nelayan mulai
dari penyiapan alat tangkap, produksi, hingga mengelola hasil tangkapan semua
membutuhkan tenaga ahli dan terampil. Bisa saja nelayan mempatkan buruh panggilan
untuk mengisi bagian-bagian kerja tersebut. Namun konsekuensinya nelayan harus
menyiapkan upah untuk buruh tersebut. Sementara di balik tuntutan itu,
penghasilan nelayan sungguh tidak pernah cukup untuk memenuhi biaya upah para
buruh. Alhasil, untuk meminimalisir pengeluaran modal yang besar, semua lini
pekerjaan harus dikerjakan sendiri. Oleh karenanya, seluruh anggota keluarga
termasuk anak-anak terpaksa berpartisipasi untuk mengisi setiap lini pekerjaan.
Dampak dari
sikap apatis dan pesimis keluarga nelayan adalah rendahnya tingkat pendidikan
anak-anak nelayan. Hal ini dapat dibuktikan denga keterlibatan anak-anak dalam
pekerjaan nelayan, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan tak jarang anak-anak
itu sendiri yang memilih untuk putus sekolah dari pada meninggalkan pekerjaannya.
Hal ini dilakukan bukan tanpa sebab, mereka lebih memilih membantu orang tuanya
dengan alasan penghasilan tak cukup untuk kebutuhan makan keluarga, apalagi
untuk sekolah. Kondisi ini yang kemudian memaksa mereka menjadi tulang punggung
keluarga diusia yang masih muda. Pada akhirnya, anak nelayan terjerat pada
problem sosial. Rendahnya tingkat pendidikan anak nelayan menjebaknya pada
persoalan remaja yang kompleks. Seperti munculnya persoalan kenakalan remaja,
pergaulan bebas, hingga seks di luar nikah.
Sumber Bacaan :
Kusnadi. 2007. Strategi Hidup Masyarakat
Nelayan. Yogyakarta: Lkis.
4 Komentar
Mari berpikir lebih dalam terhadap realita sosial..
BalasHapusJadi lebih paham keadaan faktual nelayan
BalasHapusMantapp
BalasHapusSemangat perjuangan
BalasHapus