Oleh : Siti Latifah
Bagian sebelumnya telah bercerita tentang persoalan kultur yang rumit. Kait kelindan persoalan tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Putus sekolah menjadi pilihan atas rumitnya kemiskinan struktural yang mengakar. Pada cerita bagian satu telah dijabarkan hutang sebagai kunci penghisapan. Dalam kondisi sulit itu, nelayan juga harus menghadapi masalah kapitalisasi pendidikan. Pendidikan seolah tak berpihak kepada mereka. Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin tinggi pula beban ekonomi mereka. Seperti yang telah dijabarkan oleh AL di bagian dua, bahwa prasarana pendidikan tidak memadai. Yakni keberadaan sekolah tingkat lanjut jauh dari desa. Akses terhadap prasarana pendidikan menjadi pertimbangan serius bagi warga, tentu saja karena desakan ekonomi yang menimpa mereka.
Belum lagi dihadapkan dengan pernak pernik kebutuhan pendidikan. Seragam sekolah yang cenderung setara secara umum tak pernah menyentuh sisi lokalitas Citemu. Ditambah dengan beban buku berdasarkan kurikulum yang tak pernah berkaitan dengan nelayan. Masyarakat dibebankan dengan bermacam kebutuhan pendidikan yang justru hanya menguntungkan pemodal. Liberalisasi pendidikan nampaknya menyebabkan pilihan tersulit yang harus dipilih nelayan. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan pak Akrom berkenaan dengan pendidikan anak nelayan, bahwa untuk menyekolahkan anaknya masyarakat melihat contoh agen pendidikan terlebih dahulu. Kebetulan di desa Citemu ada seseorang yang mampu mengenyam pendidikan hingga ke Perguruan Tinggi. Tetapi ia justru tidak mendapatkan pekerjaan.
Mengingat semakin banyaknya jenis pendidikan yang justru goalnya hanya memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja. Pendidikan sudah layaknya sebuah agen pencetak robot. Begitu Paulo Freire menyebutkan dehumanisasi pendidikan, pemikiran Paulo ini sering disebut sebagai pendidikan popular. Maka sangat wajar jika masyarakat memikirkan bahkan mengharapkan satu muara dalam pendidikan, yakni sekolah untuk menjadi buruh. Pandangan publik akan pendidikan mengkhayalkan sebagai sesuatu fase di mana seseorang dipersiapkan untuk menuju fase berikutnya, yakni kerja. Artinya, antara sekolah dan kerja adalah dua tahap yang berbeda. Sementara sekolah adalah fase yang harus dilalui seseorang untuk mendapatkan pekerjaan. Malangnya, pemikiran ini justru membuat desa semakin sepi. Begitu tandas seorang pendiri sekolah alternatif Qaryah Thayyibah, Salatiga.
Anak nelayan Citemu mengalami nasib yang sama selaras dengan pandangan tersebut. Ketika berbicara perihal rentang usia kenakalan remaja, AL langsung menanggapi bahwa anak-anak yang telah lulus dari pendidikan Madrasah Ibtidaiyyah tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan MTs maupun SMP. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang sampai tidak menyelesaikan jenjang sekolah dasar. Alasannya seperti yang telah tertulis pada cerita bagian dua. Kemiskinan yang disebabkan oleh sistem penghisapan membuat nelayan tak mampu berkelit sedikitpun. Maka tidak heran jika aura apatis dan pesimis kental menyelimuti persoalan kultur tersebut. Seperti yang dilansir oleh pak Akrom, bahwa nelayan cenderung beranggapan bahwa anak seorang nelayan harus menjadi nelayan. Sayangnya ungkapan Pak Akrom ini tidak dibarengi dengan sikap optimis dan kebanggaan. Memangnya kenapa dengan profesi nelayan? Padahal profesi ini baik. Nelayan memiliki banyak jasa untuk semua kalangan masyarakat. Jika tak ada nelayan mungkin kita dan pembaca sekalian tidak akan mungkin dapat menikmati beragam ikan dan sejenisnya. Toh menjadi nelayan adalah pekerjaan yang halal. Hasilnya berasal dari jeri payah keringat sendiri, bukan hasil mencuri seperti koruptor.
Menakar Kadar Dehumanisasi Pendidikan dalam Carut Marut Persoalan Anak Nelayan
Asas humanisme seolah luntur seiring dengan hilang dan bergantinya kurikulum. Murid dipaksa belajar dengan waktu yang penuh, menghadapi imajinasi kurikulum yang tak pernah serasi dengan realitas hidupnya. Pendidikan adalah perjuangan untuk menyejahterakan kehidupan bangsa. Begitu cita-cita yang dibangun oleh pahlawan kita, Ki Hajar Dewantara. Sejalan dengan cita-cita perjuangan pahlawan pendidikan, jika melihat persoalan pendidikan anak nelayan akan sangat naif jika hanya memandang persoalan kultur semata. Kait kelindan persoalan kultur justru tidak lepas dari persoalan struktur yang mengakar. Maka untuk memandang persoalan pendidikan anak nelayan sangat penting dengan membaca unsur pendidikan itu sendiri.
Barangkali dalam pendidikan yang dicita-citakan sebagai tonggak peradaban umat justru di dalamnya terdapat persoalan tersendiri yang harus dikritisi. Persoalan putus sekolah anak nelayan kemudian ditakar berdasarkan "sistem patrap" guru yang telah diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara. Sebagai mana sering dikenal dengan semboyan "Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya mangun Karsa, Tut Wuri Handayani . "Begitu AL mendengar penjabaran seperti ini, sontak ia seperti tersudut. Tentu saja karena AL berposisi sebagai pendidik. Keterkejutan AL dibarengi dengan sejumlah pengakuan yang secara sadar ia ungkapkan bahwa di desa minim akan keberadaan tokoh yang mampu memberikan pendidikan sesuai dengan asas pahlawan pendidikan. AL kemudian sejenak merenung, sembari mengumpulkan energi untuk mencurahkan isi hatinya. Ia bercerita perihal dirinya yang hanya sebatas memberikan pengajaran kepada peserta didiknya pada saat peserta didik itu masih menjadi siswa disekolah. Setelah peserta didik tamat atau putus sekolah, maka segala sesuatu yang berkenaan dengannya bukan lagi tanggung jawabnya. AL juga menambahkan, ia hanya leluasa memberikan pendidikan kepada anak hanya pada waktu belajar di sekolah. Artinya guru masih memaknai bahwa pendidikan adalah sesuatu yang sempit, bahkan tersekat oleh adanya bangunan yang disebut sekolah itu. Pandangan ini selaras dengan pengakuannya, ia merasa tak memiliki wewenang untuk memberikan pendidikan kepada anak di luar jam belajar sekolah.
Pandangan demikian seolah memberikan jawaban bahwa tugas guru hanya sebatas menyampaikan pelajaran di waktu belajar. Sungguh pendidikan kita telah terperosok pada jurang yang sangat dalam. Hal terpenting dari sebuah pendidikan adalah inti dari sistem pendidikan itu sendiri. Maka tidak heran jika Ki Hajar berusaha membuat pendidikan yang humanis dan merakyat. Guru dimaknai bukan hanya sebatas tenaga pengajar. Lebih jauh ia adalah pendidik. Inti dari humanis ialah menghilangkan sekat antara guru dan murid. Guru bukanlah seorang yang maha tahu dan benar, lalu murid adalah sebuah boneka yang layak dipoles sesuka hati guru. Maka guru tak elok bertindak diktator yang menekan kreativitas murid. Dalam pandangan humanisme pendidikan Ki Hajar Dewantara, murid diberikan keleluasaan untuk bereksplorasi dan menentukan kebebasannya sendiri. Artinya murid diberikan keleluasaan untuk bertindak mandiri. Guru memang bertugas memberikan pengajaran kepada murid. Tetapi tidak lantas memposisikan murid sebagai tong sampah yang siap dijejali apa saja. Justru humanisme pendidikan yang Ki Hajar maksudkan adalah memberikan keleluasaan kepada murid untuk mencari sendiri pengetahuannya, bahkan sampai menggunakannya agar diperoleh manfaat, terutama untuk diri dan komunitasnya. Asas pendidikan humanis diperjuangkan oleh Ki Hajar ini tak lain untuk melawan pendidikan ala kolonialisme.
Lalu apa yang terjadi sekarang ini? Asas humanisme seolah luntur seiring dengan hilang dan bergantinya kurikulum. Murid dipaksa belajar dengan waktu yang penuh, menghadapi imajinasi kurikulum yang tak pernah serasi dengan realitas hidupnya. Terlebih hubungan guru dan murid hanya sebatas patron-klien dalam transfer pengetahuan. Alhasil, setelah menyelesaikan jenjang pendidikannya, kaum terpelajar kerap menjadi gagap terhadap pengembangan resources untuk kesejahteraan rakyatnya. Hal senada juga diungkap oleh AL, di desanya bahwa persoalan pendidikan memang salah satu dari sekian banyak masalah. Tetapi bukan berarti tidak ada sama sekali warga desa yang mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Di desanya ada segelintir orang yang mampu mengakses pendidikan hingga perguruan tinggi, tetapi pada gilirannya mereka tak mampu berkiprah dalam komunitas nelayan. Mereka malah pergi menjauh dari lingkungannya, entah karena sebuah pernikahan maupun pekerjaan. Alhasil desa menjadi sepi, maka demikian desa ini minim dengan kehadiran orang-orang yang memiliki empati untuk perubahan. Minim bukan berarti tidak ada sama sekali. Di desa ini juga masih tersisa warga yang punya empati besar terhadap perubahan. Sebut saja SD, salah seorang warga yang masih punya kepedulian dengan nasib anak-anak di desanya. Ia mempunyai perhatian khusus terhadap keagamaan warga disekelilingnya. Oleh karenanya, ia lebih memilih untuk membuat pendidikan berbasis keagamaan. Mungkin, desa membutuhkan orang-orang yang demikian, yakni seseorang yang mempunyai empati besar dan juga mau bergerak untuk kemajuan desa. Tetapi langkah SD dalam bidang keagamaan saja belum cukup untuk mengurai segudang problematika desanya. Ia hanya terfokus memberikan pengajaran agama. Justru ia memisahkan jauh antara agama dengan kondisi ekonomi, terlebih politik desanya. Sehingga apa yang ia lakukan terkesan tak menyentuh problem mengakar yang menjadi faktor utamanya. Seandainya pendidikan agama bisa membuat laku kesadaran terhadap kondisi kemiskinan masyarakat, mungkin antara keduanya tidak akan terjadi sekat sedemikian rupa
Raskin, CSR dan PDPT; Progam Pembunuhan Karakter Kemandirian Nelayan
Permasalahan yang mendasar di desa Citemu adalah mental masyarakat yang sudah terdikte menjadi peminta-minta oleh serangkaian program pembangunan. Sengkarut problematika anak nelayan kemudian mengantarkan diskusi baru, yakni mencari sumber-sumber kekuatan lain. Pencarian ini sekaligus sebagai bahan renungan dalam menentukan langkah perbaikan. Sembari terus berdiskusi, akhirnya ditemukan pula salah satu warga yang mempunyai kepedulian terhadap desanya. Sering disebut-sebut bahwa desa ini minim akan tokoh pembaharu, tetapi sekali lagi bukan berarti tidak ada. Ia adalah AM yang memiliki perhatian besar terhadap ekologi pesisir. Pembicaraan persoalan carut marut problematika anak nelayan kemudian menuntun kami dan seluruh pemuda untuk tandang ke kediamannya. Saat itu waktu sudah malam, tepatnya pukul 20.30, beliau mau menerima kami dan kawan-kawan di rumahnya.
AL membuka pembicaraan dengan mengulang apa yang telah di ceritakan pada cerita bagian dua. Pada prinsipnya, ia juga merasakan hal yang sama. Tetapi, kemudian ia menjelaskan lebih jauh dari persoalan kultur itu sendiri. Ia sepakat bahwa masyarakat cenderung bersikap pesimis bahkan apatis terhadap perubahan. Tetapi ini bukan serta merta muncul begitu saja ada hal lain yang mendasarinya. Persoalan sikap apatis dan pesimis adalah persoalan mental, maka hal yang perlu ditemukan adalah sebuah kebiasaan yang mendasarinya. Dalam diskusi tersebut kemudian ditemukan bahwa masyarakat sudah terbiasa dengan bermacam bantuan. Terutama program bantuan yang sifatnya cepat habis. Hal ini sangat logis, terlebih penulis merasakan sendiri. Awal kedatangan penulis di desa ini, masyarakat memang welcome. Tetapi ketika penulis berbaur dengan untuk melihat berbagai aktivitas nelayan, penulis langsung disudutkan dengan pernyataan: "Mba mau apa yah kesini, ada program bantuan yah?" Sontak penulis yang waktu itu berposisi sebagai mahasiswa terkaget-kaget ketika harus menghadapi pertanyaan macam itu. Rupanya, diskusi malam itu juga mengantarkan pemahaman penulis bahwa masyarakat sudah sangat terbiasa dengan program bantuan siap santap. Maka pantas, jika kemudian masyarakat tidak mempunyai semangat untuk membangun komunitasnya sendiri. Ketergantungan terhadap program bantuan yang siap santap ini kemudian dilacak pangkalnya. Program bantuan biasanya selalu berasal dari pemerintah, dalam hal ini program RASKIN (beras miskin) menjadi salah satu sorotan saat itu. Bantuan ini merupakan program yang disebarkan secara merata untuk daerah-daerah tertinggal. Desa ini salah satu penerimanya. Program ini merupakan program dari pemerintah pusat yang kemudian implementasinya dilakukan di daerah masing-masing. Di desa ini pembagian raskin dibagi secara merata. Sehingga baik yang kaya maupun miskin mendapatkan bagiannya semua. Jika melihat namanya, tentu saja program ini ditujukan untuk rakyat miskin. Tetapi pada kenyataan implementasinya, raskin itu dibagi secara merata. Itu berarti bagian rakyat miskin menjadi berkurang. Sehingga hal tersebut mengindikasikan adanya perampasan hak. Bagi AM program raskin adalah bantuan yang seharusnya diperuntukkan untuk masyarakat yang tidak mampu seperti masyarakat jompo dan yatim piatu. Namun, hal tersebut tidak terjadi di Citemu. Pembagian raskin di desa Citemu dibagi secara merata sehingga tidak hanya orang miskin yang mendapatkan bantuan bahkan orang kaya justru cenderung menguasai bantuan raskin tersebut.
Bantuan raskin di desa Citemu dilakukan dengan cara menebus dengan harga sesuai ketentuan. Adanya sistem penebusan beras tersebut banyak masyarakat miskin seperti masyarakat jompo di desa Citemu tidak dapat menerima haknya. Dikarenakan tidak mampu menebus beras sesuai dengan ketentuan harga beras raskin tersebut. Jadi permasalahan yang mendasar di desa Citemu adalah mental masyarakat yang sudah terdikte menjadi peminta-minta oleh serangkaian program pembangunan. Sehingga setiap program pembangunan di desa Citemu hanya dimanfaatkan sebagai bantuan yang bersifat sekali pakai kemudian habis. Program-program top down semacam itu sudah tidak terhitung jumlahnya. Mulai dari raskin hingga PNPM, bahkan juga bantuan Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan yang juga top down. Ketika penulis melakukan proses belajar di sana, penulis diduga akan menyalurkan bantuan, penulis menimpali bahwa penulis hanyalah orang biasa. Belum lagi posisi penulis sebagai seolah pelajar. Mendengar jawaban tersebut warga yang tadi berbincang dengan penulis sedikit terkekeh. Kemudian perbincangan kami membawa pengetahuan penulis bahwa warga memang sudah sangat terbiasa menerima bantuan siap santap. Terlebih desa ini merupakan zona ring satu PLTU Batubara Cirebon. Pantas jika bantuan CSR bertebaran untuk warga. Beberapa di antaranya menurut warga, CSR PLTU sering kali berupa paket-paket sembako. Ada pula bantuan air bersih dengan membangun pompa jet pump di sekitar desa.
AL dalam hal ini mengakui pernah menyalurkan bantuan dari CSR serupa. Program bantuan tersebut adalah pembagian paket sembako dan pemeriksaan kesehatan. Antusiasme warga pun tidak kalah tinggi untuk menerimanya. AL mengaku kewalahan, belum lagi muncul berbagai hal-hal yang tidak mengenakkan hati. Beberapa di antaranya ada kecemburuan sosial dari warga yang tak mendapatkannya. Selain program-program bantuan tersebut, ada kabar yang menyebutkan bahwa CSR juga memberikan bantuan untuk perlengkapan nelayan seperti alat penarik perahu.
AM juga menanggapi hal serupa, PLTU juga menyalurkan CSR-nya untuk lingkungan desa. Tepatnya tahun 2011 CSR memberikan sejumlah uang untuk program pelestarian lingkungan. Dana tersebut masuk pada kelompok yang digawangi oleh AM. Kelompok ini bergerak dalam bidang kelestarian lingkungan untuk mencegah abrasi pantai. Sehingga kegiatan kelompok tersebut konsen dalam bidang penanaman mangrove. Awalnya AM berharap ada respon terbaik dari masyarakat untuk mengelola dana tersebut untuk memperbaiki dan menjaga lingkungan. Tetapi harapan tak sesuai dengan hasil, baginya dana yang sedikit itu hanya sebuah pancingan untuk melestarikan lingkungan. Selebihnya adalah kesadaran penuh dari masyarakat. Tetapi yang terjadi justeru sebaliknya, masyarakat mengira dana tersebut sangat banyak. Maka partisipasi mereka terhadap program tersebut semata-mata untuk mendapatkan imbalan. Dari itu, AM mengaku kecewa.Belum lagi program paling mutakhir juga datang dari pemerintah untuk warga desa. Program tersebut adalah program Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT) dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP). Program ini pada dasarnya memiliki tujuan untuk mensejahterakan masyarakat pesisir. Program ini memiliki alur tersendiri dalam pelaksanaannya, yakni sebelum program tersebut diimplementasikan disebuah desa. Desa tersebut harus membuat profil desa terlebih dahulu yang kemudian akan dikaji oleh para ahli untuk menentukan kelayakan program pembangunan yang akan dilaksanakan, serta untuk menganalisa permasalahan dan kebutuhan masyarakatnya. Setelah desa tersebut dianggap layak untuk mendapatkan program pembangunan, tahap selanjutnya adalah melaksanakan sosialisasi program oleh dinas DKP kepada pemerintah desa setempat. Setelah itu, pemerintah desa berkewajiban membentuk beberapa tim, di antaranya tim perencana, tim pemberdaya dan tim pelaksana yang terdiri dari kelompok masyarakat nelayan. Kelompok nelayan atau yang disebut KMP merupakan kelompok masyarakat yang dipilih oleh pemerintah setempat berdasarkan hasil musyarawah. KMP tersebut bertugas membuat rancangan kebutuhan yang akan diajukan untuk mendapatkan dana sebagai pelaksanaan program pembangunan. Namun hal yang terjadi di desa Citemu adalah KMP tersebut dibentuk oleh kelompok elit desa. Sehingga dalam perancangan rencana kebutuhan yang akan dilaporkan kepada dinas DKP pun tidak sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan masyarakat.
Program PDPT dimulai semenjak tahun 2012 dan berakhir sampai tahun 2015. Program tersebut diimplementasikan sesuai dengan proposal ajuan KMP. Proposal tersebut disebut-sebut sebagai pengajuan atas nama kebutuhan masyarakat dan sesuai dengan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Namun pada kenyataanya proposal tersebut dibuat sesuai dengan paket-paket program pembangunan infrastruktur yang telah disediakan oleh pemerintah. Meskipun pemerintah mengklaim bahwa program PDPT merupakan program yang mengelaborasi unsur top down dan bottom up, namun pada tingkat pelaksanaannya, ajuan kebutuhan masyarakat melalui proposal kebutuhan masyarakat dibatasi oleh ketentuan yang bersifat top down. KMP tidak boleh mencantumkan menu kebutuhan baru di dalam proposal yang dibuat. Artinya berbagai kegiatan pembangunan yang dilaksanakan sudah ditentukan oleh pemerintah pusat. Hal ini berakibat pada proses implementasi program. Pada tahapan implementasi dilaksanakan oleh para pemborong dan KMP. Sehingga program pembangunan yang dilaksanakan di desa Citemu persis seperti proyek pembangunan. Dana yang digunakan untuk melakukan program pembangunan di desa Citemu digunakan untuk membeli bahan material, membayar upah pemborong, dan membayar upah anggota KMP. Sehingga program pembangunan dengan dana 457 juta terkesan tidak produktif dan hanya bersifat sesaat. Buktinya hasil dari program yang dijalankan saat ini hanyalah pembangunan saluran pembuangan limbah (SPAL), alat penangkal obak (APO), alat penarik perahu (layer), pembangunan rumah layak huni (Rutilahu), air bersih, paving blok, pengerasan jalan evakuasi dan pengadaan MCK. Kebiasaan seperti ini memberi kesan mendidik masyarakat untuk terbiasa menerima, tanpa mengembangkan pengetahuannya sendiri. Ini yang kemudian disebut sebagai problem mental. Masyarakat tidak lagi memiliki pemikiran untuk melakukan pembangunan untuk desanya sendiri. Yang terjadi malah sebaliknya, masyarakat semakin bersemangat melakukan pembangunan ketika ada bantuan atau dana. Artinya masyarakat telah terdikotomi dengan sesuatu yang berbau pragmatis. Pendeknya setiap tindakan harus menghasilkan profit, maka tidak heran jika pekerjaan sosial dianggap sebagai hal yang membuang waktu dan tenaga semata.
Lebih parah mental pragmatis demikian ditularkan kepada generasi penerusnya. Metode pendidikan keluarga telah mengekang kebebasan anak. Seorang anak dididik sedemikian rupa untuk dapat bekerja. Artinya seorang anak selalu diarahkan pada kegiatan yang dapat menghasilkan uang. Berkenaan dengan ini, lini pekerjaan yang sangat padat menjadi ruang utama dalam mendidik anak. Maka jadilah seorang anak tidak memiliki daya berfikir dan wawasan yang luas. Terlebih untuk berkreasi sesuai dengan hobi dan bakatnya. Akibatnya masyarakat menjadi sangat individualistis. Satu sama lain selalu mementingkan keadaan diri sendiri tanpa melihat bagaimana keadaan dilingkungan sekitarnya. Bahkan sekedar melakukan kerja bakti membersihkan saluran air dan sampah pun tidak pernah dilakukan. Terlebih anak-anak cenderung tidak dapat memahami kehidupan sosialnya, karena di masa bermainnya, anak-anak sudah diajarkan bagaimana caranya bekerja. Sehingga anak-anak tidak peduli dengan kondisi lingkungannya. Maka mereka sudah terbiasa dengan lingkungan yang kumuh. Sebaliknya sebagai nelayan, mereka memiliki kelebihan tersendiri. Jati diri seorang nelayan adalah orang yang memiliki solidaritas yang tinggi. Tetapi hal ini menjadi tidak nampak ketika di darat, padahal kerja ekstrim yang dilakukan nelayan mendorong mereka untuk selalu berjiwa menolong dan bergotong royong. Praktik demikian justeru sangat nampak ketika mereka berada di laut. Contohnya ketika perahu salah seorang nelayan mogok, maka dengan cekatan nelayan lain membantu. Tentu tanpa pertimbangan untung rugi atau imbalan yang akan didapat dari tindakannya. Ini sangat berbanding terbalik ketika melakukan kegiatan sosial di darat.
Jauh di balik persoalan mental pragmatis, nelayan adalah masyarakat yang memiliki etos kerja yang tinggi. Nelayan terbiasa mulai bekerja dari pukul 02.00 dini hari, lalu kembali pada pukul 10.00 pagi. Belum lagi di waktu senggangnya ia juga harus berhadapan dengan berbagai hal yang berhubungan dengan penangkapan. Berbagai hal yang berkenaan dengannya disiapkan sedemikian rupa untuk dapat mendukung pekerjaannya. Setelah proses panjang yang memakan waktu, mereka cenderung pasrah dengan hasil tangkapan. Artinya seberapapun basil tangkapan tetap diterima dengan lapang dada. Meskipun demikian, tidak dipungkiri mereka juga mengharapkan penghasilan yang lebih. Tetapi untuk mendapatkannya, nelayan harus melalui serangkaian proses kerja lengkap dengan keterampilan dan pengetahuannya. Demikian nelayan selalu berusaha terus menerus untuk mencari tangkapan. Artinya, tanpa disadari mereka sudah terbiasa mandiri dan bermental optimis dengan bukti kerja keras yang tak henti dilakukannya.
0 Komentar