Oleh : Haerul Jamal (Peneliti SALAM Institute)
Sejak tahun 2004 kawasan hutan
di gunung ciremai telah beralih status yang awalnya berada dibawah tata kelola Perum
Perhutani menjadi Taman Nasional. Perubahan status ini ditandai dengan
Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 berdasarkan usulan pemerintah
kabupaten Kuningan dan Majalengka. Dan secara resmi pada tahun 2014 menjadi
Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) melalui SK.3684/Menhut-VII/KUH/2014.
Berubahnya status tersebut
menjadi penanda era baru pengelolaan Kawasan Gunung Ciremai, sejak diterbitkannya
surat keputusan tersebut, kawasan gunung ciremai tidak boleh dimasuki oleh
masyarakat tanpa seizin taman nasional. Sontak ini menjadi pukulan telak bagi
masyarakat yang tinggal dan hidup di lereng ciremai karena sejak dulu banyak
diantara mereka yang menggantungkan hidup dari kawasan hutan ciremai dengan
cara bertani dan bercocok tanam
Sebelum statusnya diubah
menjadi Taman Nasional, masyarakat
lereng ciremai dipersilahkan untuk menggarap lahan yang dikelola oleh
Perhutani. Perhutani sendiri merupakan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak
dalam bidang usaha kehutanan, mereka menjalankan aktivitasnya di lahan-lahan
milik negara dengan menanam berbagai komoditas kehutanan untuk diambil
manfaatnya baik berupa kayu, getah, maupun buahnya.
Dalam menjalankan usahanya,
perhutani mempersilahkan masyarakat sekitar untuk bercocok tanam di lahannya
dengan sistem tumpang sari. Sistem tumpang sari adalah penanaman dua jenis
komoditas tanaman dalam satu areal lahan dan yang menjadi tanaman komoditas
utama Perhutani Ciremai ini adalah Pinus. Sistem tumpang sari ini memungkinkan
masyarakat untuk menanam berbagai komoditas lain diatas tanaman utama milik
perhutani dengan syarat tanaman ini tidak mengganggu tanaman utama. Mayoritas
masyarakat Cisantana menanam sayur-sayuran di lahan tumpang sarinya. Kegiatan
tumpang sari di lahan milik perhutani ini mejadi tumpuan hidup sebagian besar
masyarakat lereng ciremai, mereka hidup makmur dengan hasil bercocok tanam
sayuran mereka yang berlimpah sebab tanah di lereng ciremai ini adalah tanah
yang subur.
Namun keadaan berubah,
masyarakat yang sebelumnya dengan bebas mengakses dan memanfaatkan kawasan
ciremai untuk bercocok tanam, kini mereka tidak bisa bercocok tanam seperti
dulu bahkan memasuki kawasannyapun dilarang sejak beralihnya status menjadi
Taman Nasional. pada awal kebijakan ini diterapkan, banyak petani yang terusir
dari ruang dan sumber penghidupannya.
Dalih dari diubahnya status
kawasan ciremai ini adalah konservasi dan pengembalian kelestarian kawasan
hutan hal ini terjadi karena menurut pihak TNGC sendiri, kawasan hutan gunung
ciremai rusak ketika dikelola oleh perhutani. Digarapnya lereng ciremai oleh
masyarakat dengan sistem tumpang sari, membuat ekosistem ciremai tidak stabil.
Selain itu keberadaan sumber mata air yang menunjang berbagai wilayah yang
menjadi penyangga gunung ciremai akan terganggu dan debitnya mengecil jika
lereng ciremai digarap oleh masyarakat menjadi lahan pertanian. dalih
konservasi dan perlindungan terhadap ekosistem dan mata air tersebutlah yang
menjadi alasan pemerintah untuk “memagari” lereng ciremai dengan menjadikannya
taman nasional.
Pengusiran masyarakat di lereng
ciremai akibat alih status menjadi TNGC tersebut ternyata berdampak luar biasa
terhadap kondisi ekonomi masyarakat lereng ciremai yang mayoritas
menggantungkan hidupnya dari bertani.
Penangguran, adalah hal yang pertama kali dirasakan oleh mayoritas
masyarakat akibat berubahnya status pengelolaan tersebut. Masyarakat tidak bisa
menggarap kembali lahan di lereng ciremai yang biasa ia garap ketika masa
perhutani, mereka kehilangan pekerjaan dan sumber penghidupan. Ditambah tidak
ada keahlian yang mereka miliki kecuali bertani dan bercocok tanam karena ini
yang mereka lakukan sejak dulu.
Beraih Profesi menjadi penambang batu, kondisi
menganggur membuat masyarakat mencari profesi dan sumber penghasilan apapun
untuk bertahan hidup, salah satunya adalah dengan menjadi penambang batu
tradisional. Keberadaan perbukitan batu rupanya menjadi berkah bagi masyarakat
Cisantana sebab ini menjadi sumber penghasilan baru mereka untuk bertahan
hidup. namun profesi ini disebut ilegal oleh pemerintah sebab peraturan dari
pemerintah kabupaten kuningan melarang segala aktivitas pertambangan di
wilayahnya. Hal ini menjadikan profesi penambang batu ini pun tidak menjadi
tumpuan utama masyarakat.
Kondisi tersebut membuat
masyarakat harus mencara lain untuk bisa bertahan hidup, dan yang dilakuakan
oleh masyarakat cisantana pada saat itu adalah membangun destinasi wisata
Sukageri View yang dibangun dan dikelola secara kelompok. Wisata sukageri view
ini terletak tepat berada di bekas
tambang batu yang kemudian disulap menjadi menjadi tempat camping dan didirikan
berbagai fasilitas umum seperti kamar mandi, kantin, tempat ibadah serta spot
foto yang menjadi daya tarik destinasi wisata ini.
Keberadaan destinasi wisata di
lereng ciremai bukanlah hal yang baru, sebelum statusnyapun menjadi Taman
Nasional, sudah berdiri destinasi-destinasi wisata di lereng ciremai namun
jumlah nya belum terlalu banyak dan masih belum digandrungi oleh masyarakat
Cisantana sebagai sumber penghasilan sebab pada saat itu masyarakat sudah
makmur dari bertani di lereng Ciremai. Pada saat itu di wilayah cisantana
sendiri, hanya ada wisata bumi perkemahan palutungan, itu pun dikelola secara
privat. Baru ketika statusnya telah berubah menjadi taman nasional,
wisata-wisata di lereng ciremai mulai menjamur.
Disatu momen pariwisata muncul
sebagai respon adaptasi masyarakat terhadap hilangnya mata penceharian mereka
sebagai pertani di kawasan hutan ciremai, dan momen lain menjamurnya wisata ini
atas dorongan kebijakan pemerintah daerah mengenai penetapan Kabupaten Kuningan
sebagai Kabupaten Pariwisata, jadi memang momennya sangat pas. Dengan
ditetapkannya kebijakan pengembangan pariwisata yang membuat akselerasi modal
dengan cepat masuk ke wilayah-wilayah yang strategis untuk dibangun pariwisata.
Menjamurnya destinasi wisata
terjadi seiring dengan tidak diminatinya sektor pertanian. Meski telah berubah
statusnya menjadi taman nasional yang membuat petani terusir dan tidak bisa
lagi menggarap lahannya, kegiatan usaha pertanian masih tetap eksis di wilayah lereng ciremai oleh sebagain
masyarakat yang masih memiliki lahan milik pribadi di luar wilayah TNGC. Namun
keadaan kembali berubah sejak mulai menjamurnya wisata di kawasan ini, banyak
masyarakat yang melepas dan menjualn tanahnya kepada orang-orang luar desa.
pelepasan tanah pertanian oleh petani disebabkan oleh rendahnya produktivitas
akibat cuaca yang tidak menentu serta sering hancurnya harga pasar, yang mana
seringkali terjadi kenaikan harga input pertanian yang tidak sebanding dengan
kenaikan harga produk pertanian. Ditambah dengan melambungnya harga tanah di
wilayah tersebut yang membuat para petani tergoda untuk melepas tanahnya.
Tanah-tanah yang dijual oleh
para petani tersebutlah yang kemudian dialihfungsikan menjadi tempat destinasi
wisata seperti pondok pinus, berbagai rumah makan, kedai kopi, perkemahan, dan
penginapan-penginan. Parahnya jika ditelusuri lebih dalam, wisata-wisata tersebut
bukanlah milik masyarakat lokal, namun dimiliki oleh orang luar cisantana yang
berkat modal yang dimilikinya, bisa mendirikan destinasi pariwisata di wilayah
cisantana. Karena wisata-wisata tersebut dimiliki oleh privat atau swasta, tata
kelolanyapun tidak beda jauh dengan tata kelola perusahaan atau korporasi.
Namun menjamurnya wisata ini
tidak nyatanya tidak dapat menyerap banyak tenaga kerja lokal pada masyarakat
Cisantana lereng ciremai, hal ini terjadi karena privatisasi pariwisata
tersebut yang membuat tenaga kerja bebas berasal dari manapun sesuai kehendak
dari sang pemilik wisata. Selain itu didominasinya destinasi wisata oleh
orang-orang luar terjadi karena pembangunan destinasi wisata membutuhkan modal
besar. Bagi masyarkat cisantana hidup dari sektor pertanian rasanya mustahil
untuk bisa membangun destinasi wisaya, dan agar bisa masyarakat bisa membangun
destinasi wisata untuk dikelola, pilihannya harus mengumpulkan modal bersama
atau intervensi bantuan pemerintah, dan hal inipun tetap memiliki keterbatasan
Pada akhirnya wisata milik
kelompok (komunal) kalah dengan wisata milik privat. Pertama adalah karena
adanya kesenjangan modal yang membuat wisata-wisata privat akan lebih cepat
berakselerasi dan lebih bisa menarik pengunjung yang datang. Kedua adalah
kesenjangan pengetahuan masyarakat lokal dengan pendatang yang menanamkan
modalnya disektor wisata mengenai pengelolaan wisata. Hal ini sudah terjadi dan
terbukti hanya sedikit destinasi wisata milik masyarakat lokal yang tetap
eksis, kalah dengan destinasi wisata miliki privat/swasta.
Kini masyarakat lokal di
wilayah lereng ciremai tidak lagi memiliki banyak pilihan, semakin berkurangnya
minat masyarakat terhadap sektor pertanian karena dianggap kurang menguntungkan
lagi ditambah dengan semakin melambungnya harga-harga tanah di sana yang
membuat masyarakat tergoda dan akhirnya menjual tanahnya. Sektor pertanian yang
sedari dulu sudah menyokong kehidupan mereka kini mulai berganti. Masyarakat
lereng ciremai yang tadinya petani kini hanya memiliki pilihan menjadi
pekerja/buruh di berbagai destinasi wisata tersebut, dan pilihannyapun tidak
banyak, hanya menjadi pekerja kasar seperti tukang palkir, petugas kebersihan,
pelayan, dan pemandu.
1 Komentar
Mantap 👍
BalasHapus