Oleh : Adila Sri Sifa
Keberadaan sungai menjadi hal vital bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya langsung dari alam. Bagi petani, sungai digunakan untuk mengairi sawahnya. Bagi petambak, air sangat penting untuk mengisi tambaknya. Bagi nelayan, sungai difungsikan sebagai jalur utama kapal menuju ke laut dan tempat menyandarkan kapal. Sungai tidak lain tidak bukan menjadi nafas kehidupan manusia.
Seseorang pernah berkata, “masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran sungai itu hidupnya makmur” pun begitu dengan masyarakat Desa Ambulu. Akses mudah terhadap air, memudahkan mereka untuk memulai aktivitas kerjanya baik bagi petani, petambak maupun nelayan. Sungai juga menjadi tempat yang tepat untuk mencari ketenangan, misalnya dengan memancing. Atau dapat pula sungai difungsikan sebagai tempat wisata. Pada intinya, sungai dapat menjelma mejadi apapun entah itu kebaikan atau bahkan bencana.
Di Desa Ambulu terdapat 5 sungai, yaitu Sungai Bulu, Sungai Ciberu, Sungai Belo, Sungai Betik, dan Sungai Anyar. Sungai Ciberu dan Sungai Belo menjadi batas antara Desa Ambulu dengan desa tetangga. Sementara Sungai Betik, Sungai Anyar, dan Sungai Bulu mengemban tugas penting sebagai penyambung hidup masyarakat Desa Ambulu. Karena Sungai Betik dan Sungai Anyar berada di tengah-tengah area tambak, sedang Sungai Bulu merupakan sungai terbesar di Ambulu yang dijadikan sebagai tempat sandaran kapal dan jalur utama lalu lintas kapal-kapal nelayan. Semua baik-baik saja, hingga bahaya yang tak disadari datang mengancam.
Bahaya dimulai ketika apa yang terbentuk oleh alam kemudian di utak-atik oleh manusia. Seperti namanya “anyar” yang berarti baru, Sungai Anyar adalah sungai buatan manusia. Kang Ridwan, salah seorang warga Ambulu bercerita bahwa dahulu sungai-sungai di Ambulu (kecuali Sungai Anyar) tidak saling menyambung berbeda dengan sekarang banyak anak-anak sungai yang menyambungkan antar sungai. Berawal dari sekitar tahun 80-an datang PT. Pandanwaringin melakukan pemetaan sungai di Ambulu sekaligus membeli lahan-lahan tambak ukuran 14 meter untuk dijadikan sungai. Lalu, pada tahun 1987 normalisasi sungai pun dilakukan. Selain itu, PT. Pandanwaringin juga membuat jalan atau jalur angkot yang menghubungkan Ambulu dan Gebang. Jalan tersebut dimaksudkan pula untuk mengangkut hasil tambak udang Ambulu. Karena, rencananya PT. Pandan Waringin akan membuat TPI (Tempat Pengumpulan Ikan) di Desa Ambulu. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Pak Tarjan yang mengatakan dahulu ketika masih muda ia menjadi bagian dari proyek normalisasi sungai. Maka, diduga sejak saat itulah kemudian adanya Sungai Anyar yang menjadi titik balik dari bahaya yang mengancam Desa Ambulu.
Kang Ridwan adalah warga Ambulu yang aktif dalam kegiatan lingkungan melalui Sekolah Mangrove. Sehingga ia tahu betul sebenarnya apa yang terjadi di Desa Ambulu. Menurutnya, banjir rob yang selalu terjadi di desanya karena hilangnya kealamian sungai-sungai di Ambulu. Pada dasarnya hal tersebut berhubungan pula dengan keberadaan tambak. Sebab, pemanfaatan sungai untuk tambak adalah dengan membuat sodetan atau pintu air yang dialirkan ke tambak-tambak. Sederhananya, sungai-sungai besar disodet untuk membuat anak-anak sungai lalu di arahkan ke area pertambakan dan persawahan. Itulah yang terjadi pada sungai-sungai di Desa Ambulu.
Bahaya yang lebih besar lagi mengacam dengan semakin dangkalnya Sungai Bulu serta muaranya yang sempit. Sungai Bulu atau Kalibulu merupakan sungai terbesar di Ambulu yang lebarnya kurang lebih 75 meter. Kalibulu yang semakin dangkal karena endapan lumpur yang dibawa kapal-kapal nelayan tentu membuat air sungai mudah meluap ketika laut tengah pasang. Menariknya, Kalibulu tidak mempunyai hulu dan berhenti di tengah-tengah permukiman warga. Maka, yang terjadi adalah saat air laut tengah pasang, air mengalir ke tambak melalui sodetan-sodetan sungai yang terhubung dengan area tambak, sawah, dan permukiman warga. Celakanya, banyaknya sodetan sungai sehingga ketika surut, air pasang yang seharusnya kembali tidak bisa kembali ke laut. Dan menggenang di tengah permukiman warga, areal tambak, dan persawahan. Hal yang sama juga terjadi pada sungai-sungai yang lain. Singkatnya, air yang datang tidak bisa kembali ke laut disebabkan oleh banyaknya sodetan atau anak-anak sungai, serta sampah plastik yang menyumbatnya.
Air asin tersebut yang tidak bisa kembali ke laut lalu menggenangi lahan-lahan milik warga, termasuk pertanian dan pertambakan. Akibatnya banyak area sawah yang tidak bisa lagi dimanfaatkan untuk ditanami padi ataupun bawang. Sedang untuk area tambak, tepatnya tambak garam kini telah beralih fungsi menjadi tambak bandeng atau udang. Karena lahan tidak dapat lagi difungsikan sebagai tambak garam.
Ancaman akan rob semakin nyata disertai krisis yang diakibatkannya. Produksi bandeng dan udang yang terganggu, berakhirnya produksi garam di Ambulu, dan jika keadaan seperti ini terus dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan pertanian di Ambulu pun akan berakhir.
0 Komentar