Oleh : Siti Latifah
Seperti kita ketahui, dapur adalah bagian terpenting dari sebuah rumah. Dapur memiliki peran yang maha penting bukan hanya bagi bangunan itu sendiri terapi yang paling utama bagi penghuninya. Dari dapur segala proses metabolik penghuninya berawal. Artinya dapur adalah media bagi manusia untuk menjaga proses metabolik terus berlangsung. Setelah padi di panen kemudian diproses menjadi beras dalam media media, maka hasil dari rangkaian proses ini kemudian bermuara ke dapur dan sampai pada akhirnya menjadi kehidupan baru bagi manusia.
Mengingat fungsi dapur yang penting, pernahkan pembaca memperhatikan dapur masing-masing? Atau lebih lanjut mempertanyakan segala sesuatu yang ada pada dapur pembaca? Coba kita lihat, dapur pembaca atau masyarakat pada umumnya adalah sebuah bangunan persegi atau persegi panjang yang sangat minimalis. Di dalamya terdapat tungku kompor sebagai media utama untuk memasak, kemudian tak jauh darinya adalah deretan rak yang berisi kebutuhan memasak baik bumbu maupun bahan kecil lainnya. Jika kita melihat sisi kanan dan kiri kita sering menjumpai lemari berisi tumpukan air, washtaphel sebagai tempat mencuci dan meja minimalis sebagai tempat akhir untuk menghidangkan masakan, bahkan sebagian dapur yang sangat kecil beberapa perlengkapan malah justru tak termasuk di dalamnya. Hanya bagian-bagian terpenting saja yang perlu ada yakni tungku kompor beserta tempat penyimpanan piring dan makanan. Justru lain halnya dengan anda yang memiliki dapur yang mewah, mungkin setiap sisi dan sudut dapur tersebut bukan hanya berisi peralatan pendukung untuk memasak, lebih dari itu perlatan tersebut tak hanya berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan metabolik tubuh, lebih dari itu ia berfungsi sebagai ornamen; simbol dari kemewahan.
Jadi, sudahkah anda melihat sisi dapur anda? Jika sudah, mari kita pertanyakan bagian-bagian terpenting dari dapur kita, bagaimana asal mula tungku dapur ini? atau mengapa kita harus menggunakan tungku dapur jenis ini? tahu kah kita, dapur memiliki rentetan sejarah yang panjang, terutama soal tungkunya. Kita sama mengetahui tungku atau kompor adalah media utama untuk memasak. Tanpa kompor, bahan-bahan baku kita tak akan pernah ada artinya, kita tak mungkin memakan sayur mentah kecuali hanya beberapa sayur yang lebih lezat jika disantap dalam kondisi mentah, bahkan kita tak mungkin memakan ikan atau daging mentah bukan? Baik lah mari kita lihat historis tungku kompor kita.
Saat ini kita menjumpai tungku kompor dalam dapur kita menggunakan peralatan yang canggih. Tungku kompor bertengger gagah pada ketinggian setengah dari bagan kita, memungkinkan kita memasak dengan cara berdiri. Tungku kompor yang canggih tersebut dapat menghasilkan nyala api dengan menarik tuas kompor, api secara instan akan keluar dan memungkinkan kita memasak sesuai dengan selera. Tungku kompor yang canggih itu pada umumnya menggunakan gas sebagai bahan energi dasarnya. Di tahun 2000an kompor semacam ini hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja, artinya hanya orang-orang yang kaya atau mungkin para pengusaha yang memiliki industri yang cukup besar. Di tahun itu belum banyak keumuman masyarakat masih menggunakan tungku lain, yakni utngku yang sudah ada lebih dulu dari pada tungku energi gas. Tuku sederhana orang-orang pada masa ini ialah tungku dengan bahan dasar minyak tanaha sebagai energi penaghasil apinya. Tungku kompor ini umumnya berbentuk lingkaran dengan tabung yang hampir sama dengan tabung gas yang kita gunakan saat ini. mudahan-mudahan pembaca sekalian pernah menggunakan tungku minyak tanah ini sehingga tak sulit untuk membayangkannya. Tungku minyak tanah menggunakan sumbu yang terbuat dari kain sebagai media apinya, tuku tersebut dinyalakan dengan menaikkan tuas sumbunya kemudian mendekatkan api dari korek api pada sumbu-sumbunya, kemudian api akan menyala melebar pada sumbu-sumbu yang lainnya. Tetapi sumbu-sumbu tersebut kemduian tidak dapat menyala jika bahan bakar minyak di bawahnya habis.
Tetapi sebelum tungku minyak tanah ini ada tungku yang lebih tua darinya. Orang-orang di msa 60an umumnya menggunakan tungku yang lebih sederhana dengan berbahan bakar kayu. Tungku tersebut terbuat dari deretan batu maupun bata, dibuat persegi atau persegi panjang dengan kedua lubang di sisi kanan kirinya. Kemudian di bagian atas tungku diberikan pembatas untuk tempat masing-masing tungku. Sehingga tungku tersebut mampu diguankan oleh dua media masak sekaligus dengan nyala api yang sama. Lubang pada sisi kanan dan kiri yang berseberangan berfungsi sebagai tempat untuk memasukkan kayu bakar, sehingga kayu bakar dapat dimasukan dari kedua sisi tersebut atau hanya dari salah satu sisinya saja, kemudian sisi lainnya untuk mengeluarkan abu sisa-sia dari pembakaran kayu. Masa-masa ini dapur serba sederahana, pemasak pada masa ini harus bersiap dengan dengan alat peniup yang terbuat dari bambu, alat tersebut berfungsi untuk menyalakan api kembali jika tiba-tiba api pada tungku tersebut mati. Uniknya selain harus fokus dengan masakan yang sedang diolah si pemasak juga harus fokus dengan nyala api dari tungku tersebut, alias ia harus terus menjaga api agar tidak padam. Ini lah jenis tungku tradisional awal dari kemewahan abad modern yang kita nikmati saat ini.
Dapur pada masa ini memiliki fungsi yang jauh lebih luas dari pada dapur modern kita saat ini. coba kita bandingkan secara fisik, dapur kita yang minimalis saat ini ukurannya cenderung lebih kecil dan sempit. Peralatan yang ada di dalamnya hanya sebatas tungku kompor dan berbagai perlatan masak serta makan yang lainnya, bahkan sebagai pelengkap meja makan mini diletakkan di sisi pojok untuk menambah kesan dapur. Sementara, dapur pada masa 60an ini umumnya memiliki cicir fisik lebih luas, luas dapur dapat dua kali lipat dari pada luas kamar tidur penghuninya. Di dalamnya terdapat tungku kayu beserta alat-lat masak sederhana lainya. Mengapa ukurannya lebih luas? Karena dapur pada masa ini tidak hanya bersungsi sebagai media untuk mengolah bahan baku makanan, dapur pada masa ini berfungsi sebagai lumbung padi. Orang-orang pada masa ini sering menyimpan padi-padinya di dapurnya, mereka menyimpan padi dengan cara menggantungkan padi-padi tersebut di bagian yang jauh dari tungku dapur mereka. Selain itu, dapur berfungsi sebagai media produksi padi setelah proses panen, di dalam dapur ter dapat ruang kosong yang tak berisi apapun, jangan dikira ruang kosong itu sebagai pemborosan ruang. Justru ruang kosong yang termasuk pada bagian apur ini disebut sebagai ruang nglisi. Nglisi adalah istilah yang disebutkan oleh masyarakat Cirebon bagian utara untuk menyebutkan proses memisahkan padi dari tangkainya. Orang-orang pada masa ini, selalu membawa hasil panennya pulang ke rumah jika tidak mampu diselsaikan di sawah. Di rumah, mereka bisa mengerjakannya sesuai dengan keinginan mereka. Selain temapt nglisi, dapur pada masa ini juga berisi alat-alat penumbuk padi yang terbuat dari batu, orang biasa menyebutnya lesung sementara alu adalah alat untuk menumbuk padinya. Orang-orang Cirebon bagian utara menyebut proses pemisahan padi dari kulitnya menjadi beras dengan istilah nutu. Jadi dapur masa pada itu tidak hanya berfungsi sebagai tempat memasak ataupun makan, lebih jauh dapur memiliki fungsi sebagai tempat berproduksi dan memproduksi bahan-bahan makanan mereka sendiri. sementara dapur kita yang modern saat ini, hanya berfungsi sebagai tempat mengolah makanan dan makan saja tidak lebih dari pada itu.
Jika kita melihat lebih jauh, eksistensi dapur-dapur radisional ini memiliki makna penting dalam proses metabolik. Serangkaian aktivitas manusia yang hidup pada masa itu dikerahkan secara sadar akan kepentingan pada kebutuhan hidup mereka. Aritnya untuk dapat makan mereka harus terlebih dulu memproduksi bahan dasar makanan mereka setelah itu baru dapat mengolahnya kembali menjadi makanan dan kemudian baru dimakan. Rangkaian aktivitas dalam pemenuhan kebutuhan hidupun menimbulkan rangkaian lain, seperti halnya memasak. Untuk mendapatkan energi agar dapa memasak orang-orang pada masa tradisona; ini harus mencari kayu bakar terlebih dahulu. Otomatis sebagain dari waktu mereka setelah berladang, mereka gunakan untuk mencari kayu bakar, entah setelah berladang, sebelum berladang, atau disela keduanya. Sisa proses memsak dalam hal ini pembakaran kayu bukan berarti tidak memiliki arti apa-apa. Abu-abu sisa pembakaran kayu masih dapat bermanfaat bagi kesuburan tanah sehingga sering diguankan sebagai tambahan pupuk. Dengan demikian orang-orang pada masa tradisional ini sudah mempraktikkan skema produksi dan reproduksi yang sering disebut oleh Karl Marx.
Orang-orang pada masa tradisonal telah memperlihatkan proses hidup yang tanpa paksaan, bagaimana dengan kita yang hidup pada abad modern ini? sebelum kita berhadapan dengan alat dapur yang serba canggih dengan berbagai energi yang terbaharukan, kita terlebih dahulu menelisik asal muasal mengapa kita menggunakan tungku tersebut. Setelah era tradisional hilang, muncul kehdupan semi modern; orang-orang menggunakan tungku minyak tanah sebagai pengganti kayu bakar yang telah lama digunakan. Orang-orang menjadi lebih mudah dalam memasak. Ia hanya perlu fokus pada masakan yang sedang ia olah tanpa harus memikirkan api dalam tungku akan tiba-tiba padam. Penghuni rumah juga tidak perlu repot mengatur waktu untuk mengumpulkan kayu bakar baik sebelum berladang maupun setelahnya. Orang hanya perlu menghasilkan sejumlah uang untuk membeli minyak tanah. Proses bergantinya kayu menjadi minyak tanah tidak serta merta mudah diakses oleh seluruh kalangan masyarakat; minyak tanah dimiliki oleh kalangan-kalangan tertentu baik perusahaan nasional dan swasta yang diatur oleh negara. Harga minyak tanah tergolong ke dalam bahan bakar minyak tentu kebijakannya pun diatur sedemikian rupa oleh pemerintah. Tetapi masalahnya, lambat laun harga minyak tanah semakin mahal terlebih setelah masa krisis moneter.
Minyak tanah masih sejenis dengan bahan bakar minyak seperti bensin, artinya proses produksinya didapat dengan cara pengeboran persisnya seperti yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan minyak yang sangat femiliar di telinga kita. Untuk mendapatkan komoditi minyak berarti harus ada area yang dieksploitasi. Dalam konteks ini, eksploitasi bumi di negara kita dilakukan dengan mekanisme kapitalisme yang masuk melalui skema undang-undang pemerintah. Artinya pihak-pihak yang mengelola bumi untuk menghasilkan bahan bakar minyak hanya para pakar yang ahli dalam bidangnya, bukan masyarakat biasa. Para ahli yang profesioal tersebut datang dan sengaja didatangkan untuk mengolah areal yang terdapat minyak di dalamnya, mekanisme kapitalis ini tentu memungkinkan ekploitasi perut bumi ini hanya mampu dilakukan oleh orang-orang yang memiliki modal besar saja, tentu dengan dukungan undang-undang pertambangan yang berlaku di negara ini. jika sudah berurusan dengan undang-undang maka yang ada hanya paksaan, seperti halnya yang terjadi di Indramayu Balongan. Itu berarti untuk menghasilkan minyak memerlukan pengorbanan lahan produktif dari masyarakat. Sementara, setelah proses ekstraksi tersebut menghasilkan minyak, minyak tersebut hanya menjadi komoditi yang diperjualbelikan ke pada masyarakat. itu berarti masyarakat hanya berperan sebagai konsumen.
Setelah keberadaan minyak tanah semakin langka, muncul berbagai wacana-wacana baru untuk menggunakan energi yang terbarukan. Wacana-wacana tersebut didukung dengan sejumlah pengetahuan bahwa bahan bakar fosil adalah bahan bakar yang tidak terbaharukan, artinya jika kehabisan maka kita tidak akan memiliki energi lagi. Persis di era pemerintahan SBY-JK, sebuah alternatif baru diperkanalkan. Masyarakat disokong untuk beralih menggunakan kompor berbahan dasar gas dan meninggalkan kompor berbahan minyak tanah. Sokongan pada masa pemerintahan ini tidak tanggung-tanggung, masyarakat diberikan subsidi berupa bantuan tungku kompor besarta tabung gasnya, entah berapa banyak dana yang digelontorkan oleh pemerintah kita untuk program itu. Setelah masa itu, masyarakat berbondong-bondong berlaih menggunakan kompor berbahan dasar gas. Akan tetapi mekanisme sama saja masyarakat tidak dapat mengakses secara bebas atau dapat turut mengatur ketersediaan sumber bahan bakar gas tersebut, semua diatur dan dikerjakan oleh para tenaga ahli kemudian dimiliki oleh segelintir orang yang punya modal. Masyarakat hanya berperan sebagai konsumen atas eksploitasi alam demi ketersediaan energi untuk kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini masyarakat hanya mampu mengakses ketersediaan energi terseut melalui mekanisme pasar, kemudian orang-orang menjadi bertumpu pada ketersediaan bahan di pasaran. Lebih parah lagi masyarakat menjadi korban permainan pasar, jika barang langka maka harga akan sangat mahal lebih mahal dari pada harga subsidi yang telah ditentukan oleh pemerintah. Sementara proses metabolik antara manusia dengan alampun semakin hilang. Besambung......
2 Komentar
matap....
BalasHapusDitunggu sambungannya
BalasHapus